Kemdiknas Berubah jadi Kemdikbud?

CIKEAS -- Menteri Pendidikan Nasional (mendiknas) hampir dipastikan memiliki dua wakil menteri, yang masing-masing nantinya akan membidangi pendidikan dan kebudayaan.

Kendati belum ada pernyataan resmi dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun ada tanda-tanda nama Kemendiknas akan berubah menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Salah satu tanda itu terlihat dari pernyataan Musliar Kasim, Inspektorat Jendral Kemendiknas, usai menghadap Presiden SBY di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Jumat (14/10). Dia sudah menyebut nama Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

"Baru saja saya bertemu dengan bapak Presiden dan bapak Wakil Presiden, menegaskan kepada saya untuk membantu beliau menjadi Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, bidang Pendidikan," ujarnya.

Kemendiknas akan ada dua Wakil Menteri, satu bidang pendidikan dan satu bidang kepariwisataan (kebudayaan). "Saya ditugaskan di bidang pendidikan," kata Musliar, saat keterangan pers, di Cikeas, Jumat (14/10).

Sedianya, SBY siang tadi dijadwalkan memanggil calon Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, yang akan digeser, diganti pada reshuffle kabinet yang segera dilakukannya. Namun, ternyata yang bertemu SBY barusan, adalah Cawamen.

Sementara itu, Musliar yang juga mantan Rektor Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, itu mengaku  SBY memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengembangkan dunia pendidikan di Indonesia, guna menghasilkan orang-orang yang cerdas dan berkarakter. "Yang cocok dan bisa diterima pasar untuk meningkatkan nation competitif," kata Musliar. (boy/jpnn)

JPNN.com, 14 Oktober 2011

» Read More...

Learning Management System

A learning management system (commonly abbreviated as LMS) is a software application for the administration, documentation, tracking, and reporting of training programs, classroom and online events, e-learning programs, and training content. A robust LMS should be able to do the following:[1]

  • centralize and automate administration
  • use self-service and self-guided services
  • assemble and deliver learning content rapidly
  • consolidate training initiatives on a scalable web-based platform
  • support portability and standards
  • personalize content and enable knowledge reuse.
LMSs range from systems for managing training and educational records, to software for distributing courses over the Internet with features for online collaboration. Corporate training use LMSs to automate record-keeping and employee registration. Student self-service (e.g., self-registration on instructor-led training), training workflow (e.g., user notification, manager approval, wait-list management), the provision of on-line learning (e.g., Computer-Based Training, read & understand), on-line assessment, management of continuous professional education (CPE), collaborative learning (e.g., application sharing, discussion threads), and training resource management (e.g., instructors, facilities, equipment), are dimensions to Learning Management Systems.
Some LMSs are Web-based to facilitate access to learning content and administration. LMSs are used by regulated industries (e.g. financial services and biopharma) for compliance training. They are also used by educational institutions to enhance and support classroom teaching and offering courses to a larger population of learners across the globe.
Some LMS providers include "performance management systems", which encompass employee appraisals, competency management, skills-gap analysis, succession planning, and multi-rater assessments (i.e., 360 degree reviews). Modern techniques now employ Competency-based learning to discover learning gaps and guide training material selection.
For the commercial market, some Learning and Performance Management Systems include recruitment and reward functionality.

Characteristics

LMSs cater to educational, administrative, and deployment requirements. While an LMS for corporate learning, for example, may share many characteristics with a VLE, or virtual learning environment, used by educational institutions, they each meet unique needs. The virtual learning environment used by universities and colleges allow instructors to manage their courses and exchange information with students for a course that in most cases will last several weeks and will meet several times during those weeks. In the corporate setting a course may be much shorter in length, completed in a single instructor-led event or online session.
The characteristics shared by both types of LMSs include :
  • Manage users, roles, courses, instructors, facilities, and generate reports
  • Course calendar
  • Learning Path
  • Student messaging and notifications
  • Assessment and testing handling before and after testing
  • Display scores and transcripts
  • Grading of coursework and roster processing, including wait listing
  • Web-based or blended course delivery
Characteristics more specific to corporate learning, which sometimes includes franchisees or other business partners, include:
  • Auto enrollment (enrolling Students in courses when required according to predefined criteria, such as job title or work location)
  • Manager enrollment and approval
  • Boolean definitions for prerequisites or equivalencies
  • Integration with performance tracking and management systems
  • Planning tools to identify skill gaps at departmental and individual level
  • Curriculum, required and elective training requirements at an individual and organizational level
  • Grouping students according to demographic units (geographic region, product line, business size, etc.)
  • Assign corporate and partner employees to more than one job title at more than one demographic unit

» Read More...

Kiat Sukses Mengawali Tahun Ajaran Baru

Jawaban Drs Martadi MSn

Setiap murid memiliki kenangan tentang kejadian di kelas pada waktu dulu. Mereka ingat persis bagaimana guru menangani perilaku yang bermasalah di awal tahun, bagaimana cara guru menepati janji, dan di mana guru bersikap pilih kasih. Karena masa lalu memengaruhi masa depan, guru mesti mengelola kelas dengan cara yang mendukung. Jangan melemahkan motivasi belajar siswa. Artinya, minggu pertama tahun ajaran sekolah menjadi amat penting untuk membangun prinsip pengelolaan kelas yang efektif.

Salah satu kunci mengatasinya adalah mengelola hari-hari pertama dan minggu-minggu awal masa sekolah secara cermat dan hati-hati. Mengingat, kesan awal tahun ajaran tersebut menentukan keberhasilan pembelajaran selanjutnya. Untuk itu, manfaatkan masa awal tahun ajaran ini untuk menyampaikan aturan dan prosedur yang Anda gunakan di kelas. Ajaklah murid bekerja sama untuk mematuhinya dan terlibat aktif dalam semua aktivitas pembelajaran.

Membangun ekspektasi, aturan, dan aktivitas rutin di minggu-minggu awal tersebut sangat membantu memperlancar dan memudahkan pengembangan lingkungan kelas yang positif. Berikut beberapa strategi pembelajaran yang baik untuk mengawali tahun ajaran baru.

Menciptakan ekspektasi untuk perilaku dan membuang ketidakpastian. Pada awal tahun ajaran baru, murid merasa tidak pasti tentang apa yang diharapkan dari kelas Anda. Mereka mungkin memiliki perkiraan yang berbeda dengan ekspektasi Anda. Sebab, mereka mendasarkan ekspektasi itu pada pengalamannya dengan guru lain sebelumnya. Pada hari-hari pertama sekolah, paparkan ekspektasi Anda tentang perilaku dan kegiatan murid. Jangan hanya fokus pada mata pelajaran. Luangkan waktu untuk menerangkan secara jelas dan konkret tentang aturan, prosedur, dan persyaratan kelas sehingga murid tahu apa yang harus dikerjakan di kelas.

Pastikan kepada murid bahwa mereka bisa meraih kesuksesan belajar. Pada minggu-minggu awal sekolah, mata pelajaran dan tugas harus didesain untuk memastikan murid sukses dalam mengerjakannya. Ini akan membantu murid untuk mengembangkan sikap positif dan memberi mereka rasa percaya diri untuk menghadapi tugas yang lebih sulit.

Selalu siap dan hadir. Tunjukkan pada murid bahwa mereka dapat menemui Anda kapan pun mereka butuh informasi. Selama memberi tugas mandiri atau tugas kelompok, pastikan Anda hadir, jangan pergi dari meja Anda atau menyelesaikan pekerjaan lain. Berkelilinglah di ruangan untuk memantau kemajuan murid dan membantu memberi bantuan jika dibutuhkan.

Bersikaplah tegas. Meski Anda telah memaparkan aturan kelas dan ekspektasi, beberapa murid mungkin lupa atau ada murid yang ingin menguji Anda apakah Anda siap menegakkan aturan tersebut, terutama di minggu-minggu pertama sekolah. Untuk itu, selalu bangun batas antara ''apa yang diterima'' dan ''apa yang tidak dapat diterima'' di kelas Anda. Selamat mengawali tahun ajaran baru. (*/hud)

Sumber: Jawa Pos (Sabtu, 11 Juli 2009)

» Read More...

Unesa Didik 80 Guru RSBI asal Kaltim

SURABAYA - Universitas Negeri Surabaya (Unesa) bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kalimantan Timur (Dindik Kaltim) menyelenggarakan pelatihan bagi guru untuk Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional (RSBI).
Program pendidikan tersebut, merupakan program lanjutan setelah program pendampingan penyusunan grand design pendidikan provinsi Kaltim. Kini Dindik Kaltim mempercayakan Unesa untuk mendidik guru-guru di sekolah yang ada di provinsi tersebut untuk menempuh program S-2.
Kepala Dindik Kaltim, Musyahrim, mengatakan pendaftaran program tersebut dibuka sampai akhir Oktober 2011. "Sekarang kami masih menyeleksi semua peminat yang telah mendaftarkan diri, paling lama akhir Oktober ini masuk dalam tahap akhir verifikasi," ujar Musyahrim seperti dikutip laman Unesa, Senin (24/10/2011).
Musyahrim menjelaskan, "Khusus untuk guru yang mengajar di RSBI semua jenjang akan dikuliahkan S-2, dari kuota yang tersedia sebanyak 80 orang, kini jumlah pendaftarnya sudah mencapai 120 orang," lanjutnya.
Dia melanjutkan, para guru nantinya akan dikuliahkan di dua tempat di Jawa Timur, yakni 50 guru akan dikuliahkan di Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan 30 orang lainnya akan dikuliahkan di Universitas Negeri Malang (UM).
Untuk diketahui, selain kuliah di dua tempat tersebut, para guru RSBI itu juga akan berkuliah di Curtin University, Australia. Pembagian sistem belajar ini adalah satu tahun di Surabaya atau Malang kemudian satu tahun belajar di Australia.
Program kuliah di dua negara ini merupakan program dual degree kerja sama antara Unesa dengan Curtin University Australia yang telah disetujui oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) sejak dua tahun lalu, sebagai kepercayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) kepada Unesa dalam hal kerja sama internasional pada bidang akademik. (rhs)

» Read More...

Quantum Learning

Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan. Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria.

Ia melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil apa pun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman. Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar, yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni pengajaran sugestif bermunculan.

Prinsip suggestology hampir mirip dengan proses accelerated learning, pemercepatan belajar: yakni, proses belajar yang memungkinkan siswa belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan. Suasana belajar yang efektif diciptakan melalui campuran antara lain unsur-unsur hiburan, permainan, cara berpikir positif, dan emosi yang sehat.

“Quantum learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian siswa dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan posistif – faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar terbaik dari setiap orang (Bobby De Porter dan Hernacki, 1992)

Selanjutnya Porter dkk mendefinisikan quantum learning sebagai “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.” Mereka mengamsalkan kekuatan energi sebagai bagian penting dari tiap interaksi manusia. Dengan mengutip rumus klasik E = mc2, mereka alihkan ihwal energi itu ke dalam analogi tubuh manusia yang “secara fisik adalah materi”. “Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya”. Pada kaitan inilah, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Termasuk konsep-konsep kunci dari teori dan strategi belajar, seperti: teori otak kanan/kiri, teori otak triune (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistik, belajar berdasarkan pengalaman, belajar dengan simbol (metaphoric learning), simulasi/permainan.

Beberapa hal yang penting dicatat dalam quantum learning adalah sebagai berikut. Para siswa dikenali tentang “kekuatan pikiran” yang tak terbatas. Ditegaskan bahwa otak manusia mempunyai potensi yang sama dengan yang dimilliki oleh Albert Einstein. Selain itu, dipaparkan tentang bukti fisik dan ilmiah yang memerikan bagaimana proses otak itu bekerja. Melalui hasil penelitian Global Learning, dikenalkan bahwa proses belajar itu mirip bekerjanya otak seorang anak 6-7 tahun yang seperti spons menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa yang kacau dengan “cara yang menyenangkan dan bebas stres”. Bagaimana faktor-faktor umpan balik dan rangsangan dari lingkungan telah menciptakan kondisi yang sempurna untuk belajar apa saja. Hal ini menegaskan bahwa kegagalan, dalam belajar, bukan merupakan rintangan. Keyakinan untuk terus berusaha merupakan alat pendamping dan pendorong bagi keberhasilan dalam proses belajar. Setiap keberhasilan perlu diakhiri dengan “kegembiraan dan tepukan.”

Berdasarkan penjelasan mengenai apa dan bagaimana unsur-unsur dan struktur otak manusia bekerja, dibuat model pembelajaran yang dapat mendorong peningkatan kecerdasan linguistik, matematika, visual/spasial, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal, intarpersonal, dan intuisi. Bagaimana mengembangkan fungsi motor sensorik (melalui kontak langsung dengan lingkungan), sistem emosional-kognitif (melalui bermain, meniru, dan pembacaan cerita), dan kecerdasan yang lebih tinggi (melalui perawatan yang benar dan pengondisian emosional yang sehat). Bagaimana memanfaatkan cara berpikir dua belahan otak “kiri dan kanan”. Proses berpikir otak kiri (yang bersifat logis, sekuensial, linear dan rasional), misalnya, dikenakan dengan proses pembelajaran melalui tugas-tugas teratur yang bersifat ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detil dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Proses berpikir otak kanan (yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik), dikenakan dengan proses pembelajaran yang terkait dengan pengetahuan nonverbal (seperti perasaan dan emosi), kesadaran akan perasaan tertentu (merasakan kehadiran orang atau suatu benda), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreatifitas dan visualisasi.

Semua itu, pada akhirnya, tertuju pada proses belajar yang menargetkan tumbuhnya “emosi positif, kekuatan otak, keberhasilan, dan kehormatan diri.” Keempat unsur ini bila digambarkan saling terkait. Dari kehormatan diri, misalnya, terdorong emosi positif yang mengembangkan kekuatan otak, dan menghasilkan keberhasilan, lalu (balik lagi) kepada penciptaan kehormatan diri.

Dari proses inilah, quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Membuat simulasi konsep belajar aktif dengan gambaran kegiatan seperti: “belajar apa saja dari setiap situasi, menggunakan apa yang Anda pelajari untuk keuntungan Anda, mengupayakan agar segalanya terlaksana, bersandar pada kehidupan.” Gambaran ini disandingkan dengan konsep belajar pasif yang terdiri dari: “tidak dapat melihat adanya potensi belajar, mengabaikan kesempatan untuk berkembang dari suatu pengalaman belajar, membiarkan segalanya terjadi, menarik diri dari kehidupan.”

Dalam kaitan itu pula, antara lain, quantum learning mengonsep tentang “menata pentas: lingkungan belajar yang tepat.” Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Dengan mengatur lingkungan belajar demikian rupa, para pelajar diharapkan mendapat langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar.

Penataan lingkungan belajar ini dibagi dua yaitu: lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro ialah tempat peserta didik melakukan proses belajar (bekerja dan berkreasi). Quantum learning menekankan penataan cahaya, musik, dan desain ruang, karena semua itu dinilai mempengaruhi peserta didik dalam menerima, menyerap, dan mengolah informasi. Ini tampaknya yang menjadi kekuatan orisinalitas quantum learning. Akan tetapi, dalam kaitan pengajaran umumnya di ruang-ruang pendidikan di Indonesia, lebih baik memfokuskan perhatian kepada penataan lingkungan formal dan terstruktur seperti: meja, kursi, tempat khusus, dan tempat belajar yang teratur. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai. Keadaan santai mendorong siswa untuk dapat berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Keadaan tegang menghambat aliran darah dan proses otak bekerja serta akhirnya konsentrasi siswa.

Lingkungan makro ialah “dunia yang luas.” Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. “Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari informasi baru,” tulis Porter. Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi. Selain itu, berinteraksi dengan masyarakat juga berarti mengambil peluang-peluang yang akan datang, dan menciptakan peluang jika tidak ada, dengan catatan terlibat aktif di dalam tiap proses interaksi tersebut (untuk belajar lebih banyak mengenai sesuatu). Pada akhirnya, interaksi ini diperlukan untuk mengenalkan siswa kepada kesiapan diri dalam melakukan perubahan. Mereka tidak boleh terbenam dengan situasi status quo yang diciptakan di dalam lingkungan mikro. Mereka diminta untuk melebarkan lingkungan belajar ke arah sesuatu yang baru. Pengalaman mendapatkan sesuatu yang baru akan memperluas “zona aman, nyaman dan merasa dihargai” dari siswa.

Sumber :

Akhmad Sudrajat

Septiawan Santana Kurnia, Quantum Learning bagi Pendidikan Jurnalistik: (Studi pembelajaran jurnalistik yang berorientasi pada life skill); on line : Editorial Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan www.depdiknas.go.id

» Read More...

Teori Belajar Behavioristik

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

Teori Belajar Menurut Thorndike

Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

Teori Belajar Menurut Watson

Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull

Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie

Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Skinner

Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Analisis Tentang Teori Behavioristik

Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara;

Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama;

Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.

Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran

Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman

Teori ini lalu berkembang menjadi aliran psikologi belajar yang berpengaruh terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran yang dikenal sebagai aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar.

Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pebelajar, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan pebelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pebelajar (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement; (3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).

Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran.

Teori Belajar Menurut Thorndike Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).

Ada tiga hukum belajar yang utama, menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.

Teori Belajar Menurut Watson Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.

Teori Belajar Menurut Clark Hull Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.

Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).

Teori Belajar Menurut Skinner Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.

Analisis Tentang Teori Behavioristik Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang pebelajar dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997).

Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.

Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.

Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi pebelajar, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.

Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan pebelajar untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa pebelajar menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, proses belajar tidak sekedar pembentukan atau shaping.

Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi pebelajar untuk berpikir dan berimajinasi.

Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:

Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara; Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama; Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya. Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang pebelajar perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika pebelajar tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan pebelajar (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong pebelajar untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.

Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.

Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.

Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.

Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.

Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.

Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.

Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila pebelajar menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa pebelajar telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan pebelajar secara individual.

Rujukan

1. Slavin, R.E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon

2. Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon

3. Gage, N.L., & Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally

4. Bell Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali

» Read More...

Pola Berpikir Deduktif dan Induktif Pada Filsafat Ilmu

Kajian Filsafat Ilmu

PENGANTAR KAJIAN FILSAFAT ILMU

A. Dasar-Dasar Filsafat Ilmu


Menurut Suriasumantri (1996), paling tidak ada empat hal yang berkaitan dengan kajian tentang dasar-dasar filsafat ilmu, antara lain: penalaran, logika, sumber pengetahuan; dan kriteria kebenaran. Berikut ini akan dijelaskan keempat hal tersebut

1. Penalaran

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan untuk berpikir (homo thinking), makhluk yang mampu membangun atau mengembangkan potensi rasa dan karsa (emosional quition); dan makhluk yang mampu membangun kualitas kedekatan pata Tuhan (spiritual quation) (Muthahhari, M.. 1997; Tafsir, A. 2007). Jadi, manusia adalah makhluk ‘multi dimensional’, dengan segala kemampuan yang dimiliki manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan itulah yang menjadi senjata pamungkas bagi manusia dalam mengusai atau memberdayakan alam seisinya. Kemampuan multidimensi tersebut, menyebabkan manusia mampu mengembangkan beragam ilmu pengetahuan atau kebudayaan yang kompleks menuju keunggulan hidup (civilization).

Diantara bagian terpenting dalam proses pengembangan ilmu pengetahuan adalah ‘kemampuan manusia untuk menalar’. Dari kemampuan menalar itulah manusia dapat: (a) mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi secara maksimal; (b) memilih dan membedakan sesuatu itu benar atau salah, sesuatu itu baik atau tidak baik; (c) memilih beragam alternatif pilihan jalan hidup yang benar atau tidak benar, bermanfaat atau tidak bermanfaat; dan (d) terus melakukan inovasi diberbagai bidang kehidupan dengan pola perubahan yang bersifat progress of change (Ankersmit. 1987; Sztompka, P. 1993).

Para ahli filsafat ilmu berpandangan, bahwa diantara faktor kunci manusia mampu mengembangkan ilmu pengetahuan adalah ditentukan oleh dua faktor kunci, yaitu: (1) manusia mempunyai kemampuan dalam mengembangkan bahasa, dan dengan bahasa tersebut manusia mampu mengkomunikasikan secara efektif jalan pikiran atau kerangka pikir serta segala penemuan dari produk pikirannya kepada orang lain; dan (2) manusia mampu mengembangkan kemampuan berpikir secara rasional, logis, dan sistematis. Kemampuan berpikir berdasarkan kaidah-kaidah tertentu (misalnya rasional, logis dan sistematis) itulah sering disebut ‘penalaran’ (Tim Dosen Filsafat. 2002).Menurut Suriasumantri (1996), penalaran adalah: (a) merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran; dan (b) proses penemuan kebenaran tersebut antara individu satu dengan yang lain berbeda-beda tergantung pendekatan berpikirnya, atau tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenarannya masing-masing. Berdasarkan pengertian tersebut maka hakikat penalaran mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya suatu pola berpikir yang secara luas dapat disebut logika. Atau kegiatan penalaran merupakan suatu ‘proses berpikir logis’. Berpikir logis adalah kegiatan berpikir menurut suatu pola tertentu atau logika tertentu (misalnya: logika deduktif atau logika induktif); (2) sifat penalaran adalah analitik dari proses berpikirnya, artinya, penalaran ilmiah merupakan suatu kegiatan analisis yang mempergunakan logika ilmiah, dan demikian juga penalaran lainnya yang mempergunakan logikanya tersendiri pula.

Menurut para ahli filsafat ilmu pengetahuan, bahwa sejatinya ‘tidak semua kegiatan berpikir (penalaran) manusia mendasarkan pada penalaran ilmiah (deduktif atau induktif)’. Ada juga kegiatan berpikir manusia berdasarkan: (a) perasaan, emosi yang sering disebut ‘intuisi’. Kegiatan berpikir secara intuisi sering disebut berpikir secara nonanalitik; dan (b) ‘wahyu’, atau firman Tuhan dalam proses ibadah atau kegiatan-kegiatan sosial-budaya sehari-hari. Jadi, berdasarkan ‘hakikat proses usaha’ manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan, maka pengetahuan yang berkembang di masyarakat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) pengetahuan sebagai hasil produk pikiran analitik dan nonanalitik manusia; dan (b) pengetahuan sebagai pemberian ‘wahyu’ dari Tuhan. Hal ini sering disebut ‘pengetahuan agama’ (Suriasumantri, 1998; Hanafi, H., 2004).

1. Logika

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab ketiga dan keempat, bahwa pengertian logika adalah ‘cabang filsafat ilmu yang melakukan kajian tentang cara berpikir sahih (valid), runtut, dan benar berdasarkan kaidah-kaidah atau hukum-hukum tertentu’ (Copi, I.M. 1978; The Liang Gie, dkk. 1979; Soekadijo, R.G. 1983). Secara umum ada dua macam logika, yaitu: (1) logika formal atau logika deduktif, yaitu ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah berdasarkan bentuknya (form) serta kesimpulan yang dihasilkan sebagai kemestian diturunkan dari pangkal pikiran’. Atau ‘suatu ilmu yang mempelajari asas-asas atau hukum-hukum dalam berpikir, hukum-hukum tersebut harus ditaati supaya pola berpikirnya benar dan mencapai kebenaran’ (Sudiarja, dkk., 2006); dan (2) logika material atau logika induktif, yaitu ‘sistem penalaran yang menelaah prinsip-prinsip penyimpulan yang sah dari sejumlah hal khusus sampai pada suatu kesimpulan umum yang bersifat boleh jadi’. Atau logika induktif atau logika material juga sering disebut ‘metode-metode Ilmiah’ (Bakry, N. 1995; Salam, B. 1997).

Logika dedukif, merupakan kegiatan berpikir dengan kerangka pikir dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kearah kesimpulan yang lebih bersifat khusus, atau penarikan kesimpulan dari dalil atau hukum menuju contoh-contoh. Penarikan kesimpulan dari logika formal biasanya menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme secara umum disusun dari dua buah hal, yaitu: (a) term atau pernyataan, berupa pernyataan pertama yang menjadi subjek (S) dan pernyataan kedua menjadi predikat (P); dan (b) sebuah kesimpulan (K). Contoh: (a) – Semua binatang karnifora adalah pemakan daging (premis mayor) (S); – Harimau adalah binatang karnifora (premis minor) (P); – Jadi, Harimau binatang pemakan daging (kesimpulan) (K); (b) – Semua manusia adalah makhluk yang mengenal kematian (premis mayor) (S); – Sementara makhluk rasional adalah manusia (premis minor) (P); Jadi, sementara makhluk rasional adalah makhluk yang mengenal mati (kesimpulan) (K). Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa menyusun silogisme itu harus memuat tiga hal, yaitu: term atau pernyataan pertama sebagai subjek (S); pernyataan (term) kedua sebagai predikat (P) dan ketiga adalah kesimpulan (K). Pada hakikatnya kedua pandangan tersebut adalah sama, baik yang mengatakan silogisme itu terdiri dari dua atau tiga unsur. Uraian tentang silogisme dan beragam macamnya telah dijelaskan pada bab III di atas (mohon diperiksa kembali).

Logika induktif, merupakan cara berpikir untuk menarik kesimpulan dari kasus khusus atau contoh menuju kasus umum atau dalil atau hukum atau kesimpulan umum. Orientasi filosofis dari logika induktif adalah lebih mengarah ke aliran empirisme, sedangkan orientasi filosofis dari logika deduktif adalah lebih ke arah aliran rasionalisme atau positivisme. Contoh logika induktif antara lain: – Kucing adalah binatang pemakan daging (karnifora); – Hiramau adalah binatang pemakan daging (karnifora); Serigala adalah binatang pemakan daging (karnifora); Jadi, Kucing, Harimau dan Serigala adalah binatang karnifora.

1. Bahasa sebagai sarana berpikir ilmiah

Diantara salah satu predikat manusia yang penting adalah sebagai homo symbolicum (makhluk simbolik). Oleh karena itu manusia merupakan makhluk yang paling multiaspek, multidimensi dalam menggunakan simbol-simbol dalam bentuk beragam bahasa, dan bahkan bahasa menjadi aspek yang paling sentral dalam proses-proses sosial di masyarakat. Bahasa dapat dicirikan sebagai: (a) serangkaian bunyi (bahasa verbal); dan (b) bahasa merupakan lambang dimana rangkaian bunyi itu membentuk suatu arti tertentu.

Berikut ini beberapa konsep penting tentang keberadaan bahasa dalam proses kehidupan manusia, baik dalam dunia ilmu pengetahuan maupun dalam kehidupan sehari-hari antara lain:

1. Bahasa memungkinkan manusia berpikir secara abstrak dimana objek-objek yang faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol bahasa yang bersifat abstrak. Simbol bahasa yang bersifat abstrak tersebut memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut dari generasi ke generasi.
2. Setiap bahasa yang dijadikan sebagai media komunikasi mengandung dua aspek, yaitu: aspek informatif (informasi tentang segala sesuatu), dan aspek imotif (mengandung perasaan dari para individu yang berinteraksi). Oleh karena itu sejatinya bahasa yang dijadikan sebagai alat komunikasi mengadung tiga unsur, yaitu: buah pikiran individu; cerminan perasaan individu; dan sikap atau tindakan individu yang berinteraksi. Jadi, dengan bahasa manusia tidak hanya bisa berpikir, tetapi dapat juga untuk mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan, dia rasakan kepada orang lain.
3. Bahasa membuat manusia mampu hidup dalam proses pengalaman demi pengalaman empirik, kemudian merekamnya dengan sistematis, logis, dan mampu berada pada dunia pengalaman simbolik yang dinyatakan dalam bahasa. Dengan bahasa manusia mampu memberi arti atau makna pada kehidupannya, arti atau makna yang terpatri dalam dunia simbolik yang diwujudkan melalui kata-kata yang diucapkan dalam proses interaksi dan komunikasi.
4. Dengan bahasa manusia mampu menyusun sendi-sendi yang membuka rahasia alam pikiran dan alam nyata sehari-hari dalam berbagai teori, seperti elektronik, termodinamik, relativitas dan quantum. Pada hakikatnya tidak ada aspek atau sendi kehidupan manusia yang tidak berhubungan dengan bahasa, karena manusia berpikir melalui bahasa, dan melakukan aktivitas sosial juga menggunakan sarana bahasa, serta berkomunikasi dengan sesamanya dan Tuhannya juga dengan bahasa.
5. Para filosof mengatakan, ‘bahasa merupakan modus operandi dari cara manusia berada di dunia dan merupakan wujud yang seakan-akan merangkul seluruh konstitusi tentang dunia ini’. Manusia tidak akan pernah bisa berbuat apa-apa di dunia ini tanpa menggunakan bahasa. Bahasa sebagai alat atau sarana utama dalam membangun peradaban (civilization) hidup. Dengan bahasa manusia akan mampu menemukan jati dirinya, dan dengan bahasa manusia juga mampu mengembangkan penelitian ilmiah (scientific research) secara berkelanjutan.
6. Bahasa merupakan abstraksi dari suatu budaya masyarakat atau bangsa tertentu. Apabila manusia ingin mengkaji atau meneliti suatu karya budaya masyarakat atau bangsa tertentu, dipastikan dia tidak akan bisa apabila tidak memahami bahasa yang dimiliki oleh masyarakat atau bangsa yang ditelitinya. Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu dalam hidup ini menjadi jelas untuk dipahami manusia.
7. Dengan bahasa manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, melalui kegiatan atau komunikasi ilmiah. Agar komunikasi ilmiah berjalan dengan baik, maka bahasa yang dipergunakan harus bebas dari unsur-unsur imotif, ideologis dan kepentingan subjektivistik. Jadi, komunikasi ilmiah harus bersifat reproduktif yang bersifat objektif (Suriasumantri, J.S.,1996; Sumaryono, 1999). Meskipun dalam studi ilmu sosial, psikhologi atau kebudayaan sebagian ahli mengatakan sulit dicapai derajat objektivis, peneliti sosial-budaya tetap dituntut untuk secara jujur mengkomunikasikan atau menjelaskan dengan bahasa yang jelas, logis tentang proses analisis data dalam penelitian ilmiahnya.

Uraian tersebut di atas menyimpulkan, bahwa: (a) manusia tidak akan mampu bertahan dalam hidup tanpa bahasa, karena seluruh proses pemenuhan kebutuhan hidup manusia di masyarakat sejatinya tidak lepas dari peran dan fungsi bahasa; (b) manusia bisa berpikir dengan baik karena bahasa; manusia berbicara dengan orang lain tentang segala sesuatu dalam hidup dengan bahasa; dan manusia mengerti tentang sesuatu kemudian menginterpretasi serta mengambil kesimpulan tentang sesuatu juga dengan bahasa; (c) manusia mewariskan dan melestarikan nilai-nilai budaya kepada generasi berikutnya juga dengan bahasa; dan (d) manusia mengembangkan segala ilmu pengetahuan-teknologi dalam hidup juga dengan bahasa.

1. Logika, matematika dan statistik

Suatu penalaran ilmiah menyandarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Menurut Wittgenstein dalam Suriasumantri (1996), bahwa matematika pada dasarnya merupakan hasil dari metode berpikir logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika. Jadi, matematika adalah ‘masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika’. Oleh karena itu hubungan logika dan matematika adalah sangat erat, keduanya sulit dipisahkan, bagaikan dua sisi dalam satu keping mata uang.

Metematika sebagai bahasa, mengandung arti matematika adalah: (a) bahasa yang melambangkan makna dari pernyataan yang ingin kita sampaikan, Lambang-lambang matematika bersifat ‘artifisial’, yang baru mempunyai arti setelah sebuah makna atau pengertian diberikan kepadanya; dan (b) bahasa yang berusaha untuk menghilangkan sifat kabur, majemuk dan emosional dari bahasa verbal.

Sifat kuantitatif dari matematika mempunyai makna bahwa: (a) matematika mengembangkan bahasa numerik yang memungkinkan kita untuk melakukan pengukuran secara kuantitatif; (b) sifat kuantitatif dari matematika akan meningkatkan daya prediksi dan kontrol dari ilmu pengetahuan. Oleh karena itu pada hakikatnya semua ilmu pengetahuan baik ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences), ilmu-ilmu sosial (social sciences), dan ilmu-ilmu humaniora adalah membutuhkan matematika, hanya saja tingkatan peran matematika dalam ilmu-ilmu alam berbeda dengan ilmu-ilmu sosial atau ilmu humaniora; dan (c) matematika merupakan sarana berpikir deduktif (formal), dan semua ilmu pengetahuan memerlukan kerangka berpikir deduktif.

Pada hakikatnya matematika adalah pengetahuan yang bersifat deduktif, tetapi tidak semua ahli filsafat sepakat dengan pandangan tersebut, misalnya Immanuel Kant berpendapat, ‘bahwa matematika merupakan pengetahuan ‘sintetik a priori’ dimana eksistensi matematika tergantung kepada dunia pengalaman manusia’ (Suriasumantri J.S., 1996). Terlepas dari pendapat pro kan kontra tersebut, yang jelas matematika mempunyai manfaat yang sangat besar bagi proses kehidupan manusia karena: (a) hampir semua persoalan kehidupan memerlukan pemecahan masalah dengan angka karena hampir semua aspek kehidupan tidak lepas dari jaringan angka-angka; (b) hampir semua persoalan kehidupan membutuhkan penyelesaian secara objektif atau kuantitatif; dan (c) dengan kehidupan yang ditandai oleh kemajuan Iptek dewasa ini, tidak ada proses pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak bersentuhan sama sekali dengan matematika.

Sedangkan mengenai statistik, Suriasumantri (1996) berpendapat, ‘bahwa secara hakiki statistik mempunyai kedudukan yang sama dalam penarikan kesimpulan seperti matematika dalam penarikan kesimpulan secara deduktif. Jadi matematika itu berpikir secara dedukti, sedangkan statistik berpikir secara induktif. Baik matematika maupun statistik merupakan sarana analisis secara kuantitatif. Statistik juga memberikan kemampuan kepada manusia untuk mengetahui apakah suatu hubungan kausalitas antara dua faktor atau lebih bersifat kebetulan atau memang benar-benar terkait dalam suatu hubungan yang bersifat empiris.

Karakteristik berpikir induktif (statistik) antara lain: (a) dasar teori statistik adalah teori peluang, oleh karena itu statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk menarik kesimpulan secara induktif. Jadi, statistik adalah salah satu cara menarik kesimpulan induktif secara valid (sahih); (b) statistik merupakan pengetahuan yang memungkinkan manusia untuk menghitung tingkat peluang secara eksak (objektif). Sedangkan menurut bidang pengkajiannya, statistik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu, statistik teoritis dan statistik terapan; dan (c) penarikan kesimpulan secara induktif (statistik) menghadapkan manusia kepada sebuah permasalahan mengenai banyaknya kasus yang harus diamati sampai kepada suatu kesimpulan (dalil atau teori). Jadi, hubungan antara logika, matematika dan statistik adalah sangat erat. Ada dua macam logika, yaitu logika formal (deduktf) dan logika meterial (induktif), matematika merupakan cara berpikir dengan kaidah logika deduktif (logika formal), sedangkan statistik adalah dengan kaidah logika induktif (logika material).

Menurut para ahli ada perbedaan pengertian antara istilah ‘statistik’ dengan ‘statistika’. Statistik banyak diartikan lebih sebagai alat pengolah data angka, dalam hal ini berarti statistik berfungsi sebagai alat bantu dalam proses analisis data dalam penelitian ilmiah. Sedangkan statistika adalah cabang ilmu yang mengamati dan atau mengembangkan cara-cara mengolah data angka. Jadi, statistik adalah produk dari kerja statistika, atau statistika adalah penghasil statistik (Nurgiyantoro, dkk., 2002). Diantara fungsi atau kegunaan statistik sebagai alat bantu dalam melakukan analisis data penelitian ilmiah antara lain dapat: (a) memperoleh gambaran secara khusus atau umum tentang sesuatu gejala, keadaan dan peristiwa tertentu; (b) melakukan pengujian, apakah gejala yang satu berbeda dengan gejala yang lain atau tidak berbeda. Jika ada perbedaan apakah perbedaan itu meyakinkan atau hanya karena kebetulan; (c) mengetahui hubungan antar gejala dan menyusun laporan berupa data kuantitatif secara teratur, ringkas dan jelas serta sahih (valid); dan (d) menarik kesimpulan secara logis, tepat dan benar, serta dapat meramalkan atau memprediksi fenomena (gejala) yang mungkin akan terjadi di masa depan.

1. Sumber pengetahuan

Uraian tentang sumber pengetahuan telah disinggung secara sekilas pada pembahasan di muka. Berikut ini akan dijelaskan lebih terperinci tentang sumber pengetahuan. Perlu dipahami bahwa, manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Salah satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia dewasa ini adalah kebutuhan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena tidak ada aspek atau bagian dalam kehidupan manusia di dunia ini yang tidak bersentuhan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, terlebih di era modern atau post medern dewasa ini. Suatu masyarakat atau bangsa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi akan mampu menguasai berbagai aspek kehidupan dan mampu mempengaruhi bangsa lain yang tidak menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di masyarakat tidak bisa lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang merupakan produk sejarah kehidupan manusia itu sendiri. Dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki, manusia selalu ingin mencari kebenaran, kebahagiaan, selalu ingin melakukan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dan dengan ilmu pengetahuan manusia merasa tidak puas terhadap karya budaya yang telah dimiliki, selalu ingin melakukan inovasi atau pembaharuan kehidupan (Sztompka, P., 1993), dan sejatinya inti kualitas kehidupan manusia adalah terletak pada kemampuan dalam menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologinya untuk melakukan perubahan demi perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.

Menurut Suriasumantri, J.S., (1996), bahwa dilihat dari hakikat usaha mencari kebenaran, sebenarnya sumber pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (1) pengetahuan yang didapat atau bersumber dari hasil usaha aktif manusia, baik melalui penalaran ilmiah (analitik) maupun melalui perasaan intuisi (nonanalitik); dan (2) pengetahuan yang didapat atau bersumber bukan dari usaha manusia, yaitu dari wahyu Tuhan melalui para Malaikat dan para Nabi atau Rasul. Hakikat penalaran ilmiah adalah merupakan gabungan dari penalaran deduktif dan penalaran induktif. Penalaran deduktif berorientasi pada pandangan positivisme atau rasionalisme, sedangkan penalaran induktif berorientasi pada pandangan konstruktivisme atau empirisme (Kattsoff, L.O., 1996). Penalaran deduktif adalah berpijak dari teori atau dalil ke contoh, sedangkan penalaran induktif adalah berpijak dari contoh ke teori atau dalil.

Menurut para ahli ada beberapa cara yang dapat ditempuh manusia dalam memperoleh sumber pengetahuan, yaitu: (1) cara tradisi (tenacity), yaitu gigih dalam memegang sesuatu yang dianggap benar oleh tradisi atau yang telah diwariskan oleh leluhur bahwa sesuatu itu benar, dan generasi berikutnya menerima apa adanya tanpa membangun sikap kritis terhadap tradisi tersebut; (2) cara otoritas atau kewenangan, artinya seseorang bisa memperoleh pengetahuan baru dengan bertanya kepada individu-individu yang memiliki otoritas atau kekuasaan di masyarakat, misalnya, tokoh masyarakat atau pemerintahan, tokoh agama, ilmuwan, tokoh budaya, guru, dosen, dan sebagainya; (3) cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau kelompok. Cara seperti ini biasanya tanpa bimbingan, oleh karena itu cara seperti ini sering disebut trial and error (coba dan salah dan mencoba lagi); (4) cara logika deduktif dan induktif. Logika deduktif merupakan pola berpikir untuk mencari ilmu dari prinsip, teori ke contoh atau dari dalil ke contoh. Sedangkan logika induktif adalah pola berpikir untuk mencari ilmu dari contoh ke dalil atau dari fakta-fakta khusus ke prinsip umum; dan (5) cara atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah atau melalui penelitian ilmiah. (Kerlinger, 2002; Sukardi, 2004).

Prosedur kerja pada cara logika deduktif dan logika induktif, dan prosedur kerja metode ilmiah tersebut sangat berbeda dengan empat cara sebelumnya (cara: tenacity, otoritas, trial and error). Cara atau metode ilmiah (penelitian ilmiah) apabila dibandingkan dengan metode-metode lainnya adalah lebih bisa dipertanggung jawabkan. Metode ilmiah sangat penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan ilmiah tetapi juga dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah kepada masyarakat ilmuwan melalui penelitian ilmiah. Menurut Horton and Hunt (1984), ada delapan langkah (prosedur) yang harus dilakukan dalam proses penelitian ilmiah (scientific research) untuk menemukan atau mengembangkan pengetahuan, yaitu: (a) merumuskan permasalahan (define the problem); (b) meninjau kepustakaan (review the literature) atau kajian teori; (c) merumuskan hipotesis (formulate the hypotheses); (d) merencanakan desain riset (plan the research design); (e) mengumpulkan data (collect the data); (f) menganalisis data (analyze the data); (g) menarik kesimpulan (draw conclusions); dan (h) mengulangi penelaahan (replicate the study).

Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam usahanya untuk mencari atau memperoleh sumber pengetahuan hakikatnya adalah merupakan perpaduan dari prosedur empiris (faham empirisme) dan prosedur rasional (faham rasionalisme). Kerangka dasar atau prosedur ilmiah dalam mencari ilmu pengetahuan paling tidak melalui enam langkah, yaitu: (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah; (2) pengamatan dan pengumpulan data yang relevan; (3) penyusunan dan klasifikasi data; (4) perumusan hipotesis; (5) deduksi dan hipotesis; (6) tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesis (Suriasumantri, J.S., 1996). Enam langkah tersebut lebih berorientasi pada prosedur mencari ilmu pengetahuan menurut pandangan positivisme atau paradigma objektivisme dengan desain research quantitative.

Dalam memahami hakikat ilmu pengetahuan sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi, yaitu: Pertama, dalam dimensi fenomenanya, dalam hal ini ilmu pengetahuan menampakkan pada realita sebagai berikut: (1) masyarakat, yaitu suatu masyarakat elit yang dalam hidup kesehariannya sangat konsen pada kaidah-kaidah universalisme, komunalisme, disinterestedness, dan skeptisisme yang terarah dan teratur; (2) proses, yaitu pola aktivitas masyarakat elit yang melalui refleksi, kontemplasi, imajinasi, observasi, eksperimental, komparasi, yang tidak pernah berhenti untuk menemukan kebenaran ilmiah; dan (3) produk, yaitu hasil dari aktivitas berupa dalil-dalil, teori dan paradigma beserta hasil penerapannya baik berupa fenomena sosial atau alam. Suatu ilmu pengetahuan (science) pada dasarnya mempunyai suatu sistem, dan masing-masing unsur dalam sistem adalah saling berhubungan. Sedangkan komponen utama dari sistem ilmu pengetahuan (science) adalah: (1) perumusan masalah; (2) pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4) ramalan (prediksi) dan kontrol. Setiap komponen tersebut mempunyai metode tersendiri (Suriasumantri, J.S, 1996).

Kedua, dalam dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun atas komponen-komponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4) temuan yang diperoleh tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002).

1. Kriteria kebenaran

Pada bab IV telah disinggung tentang pengertian benar dan pengertian salah. Penjelasan benar dan salah dalam bab IV lebih menekankan pada ‘benar dan salah dalam perspektif logika’, artinya lebih menekankan pada struktur logik, atau struktur penalaran yang logis, atau struktur bahasa yang digunakan dalam penalaran logis. Sedangkan pada bab V ini, makna kebenaran lebih menekankan pada aspek filosofis atau pandangan (isme) atau sudut pandang teoritik. Jadi, makna kebenaran pada bab IV adalah kebenaran dalam perspektif logika, sedangkan pada bab ini makna kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu (teoritik).

Dalam studi filsafat ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’, atau sesuatu itu dikatakan ‘benar’ atau ‘salah’ sangat tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Perbincangan tentang beragam ukuran ‘hakikat kebenaran’ sudah dimulai sejak jaman Plato sampai sekarang. Menurut para ahli, ada tujuh ‘Teori Kebenaran’ yang paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya, antara lain:

1. Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini menganggap bawa ‘suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya’, atau kebenaran adalah ‘A belief is called true if it agrees with a fact’. Jadi, sesuatu itu dianggap benar apabila sesuatu itu sesuai dengan realitas atau praktik-praktik kehidupan sehari-hari atau fakta-fakta yang terjadi di lapangan, demikian juga sebaliknya, sesuatu itu dianggap tidak benar jika tidak ada bukti atau fakta-fakta yang mendukung keberadaan sesuatu itu.
2. Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley. Suatu pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah ‘bila suatu proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar’. Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau melalui pembuktian logis atau matematis, atau suatu ‘prinsip baru’ tentang fenomena tertentu dianggap benar jika ‘prinsip baru’ tersebut sesuai dengan teori, dalil, proposisi sebelumnya.

Kedua teori tersebut (koherensi dan korespondensi), keduanya dipergunakan dalam cara berpikir ilmiah. Penalaran teoritis yang berdasarkan logika deduktif jelas mempergunakan teori koherensi, sedangkan proses pembuktian secara empiris (pengalaman nyata sehari-hari) dalam bentuk pengumpulan fakta-fakta yang mendukung pernyataan tertentu mempergunakan teori kebenaran korespondensi.

1. Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey. Suatu pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah ‘bila proposisi itu mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri’, maka menurut teori ini, tidak ada kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan tergantung serta dapat dikoreksi oleh pengamalan-pengalaman baru berikutnya. Kebenaran pragmatis sangat tergantung oleh kondisi tempat dan waktunya (space and time), oleh karena itu menurut teori kebenaran pragmatis adalah ‘hakikat kebenaran itu bersifat relatif atau nisbi’. Jadi, Kebenaran pragmatis, yaitu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional (berguna) bagi kehidupan praktis atau kehidupan sehari-hari dalam suatu kehidupan kelompok.
2. Teori Kebenaran Sintaksis. Teori ini berkembang diantara para filosof analisa bahasa, seperti Friederich Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’ atau ‘suatu proposisi apabila tidak mengikuti syarat dari hal yang disyaratkan dalam menyusun proposisi yang benar maka proposisi itu tidak mempunyai arti atau dianggap tidak benar’.
3. Teori kebenaran Semantis. Menurut teori kebenaran semantik (semantis), suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya pengacu (referent) yang jelas?. Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif.
4. Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari).
5. Teori Kebenaran Logik, yang berlebihan (Logical superfluity Theory of truth). Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa—pernyataan—yang hendak dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling melingkupinya (Suriasumantri, J.S., 1996; Team Dosen Filsafat UGM, 2002).

Uraian di atas menunjukkan tentang ‘makna kebenaran’ menurut sudut pandang ‘teori-teori kebenaran’. Jadi, suatu pernyataan atau proposisi itu dianggap benar, antara teori satu dengan teori lain mempunyai kriteria yang tidak sama. Demikian juga makna ‘hakikat kebenaran’ dari segala sesuatu dalam hidup ini menurut ‘aliran’aliran filsafat’ mempunyai makna yang beragam. Misalnya: (a) hakikat makna kebenaran terhadap segala sesuatu menurut aliran positivisme akan berbeda sekali apabila dibandingkan dengan menurut aliran idealisme; dan (b) hakikat makna kebenaran terhadap segala sesuatu menurut aliran materialisme akan berbeda sekali jika dibandingkan dengan menurut aliran teologisme, dan sebagainya (lihat kembali pembahasan di bab pertama).

B. Hakikat Ilmu Pengetahuan

Sebagaimana yang telah disinggung di atas, suatu ilmu pengetahuan (science) pada dasarnya mempunyai suatu sistem, dan masing-masing unsur dalam sistem adalah saling berhubungan. Sedangkan komponen utama dari sistem ilmu pengetahuan (science) adalah: (1) perumusan masalah; (2) pengamatan ilmiah (scientific observation) dan deskriptif; (3) penjelasan; dan (4) ramalan (prediksi) dan kontrol. Setiap kompoten tersebut mempunyai metode tersendiri (Suriasumantri, J.S, 1994). Dalam dimensi struktural, dalam hal ini ilmu pengetahuan tersusun atas komponen-komponen: (1) objek sasaran yang ingin diketahui; (2) objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan tanpa mengenal titik henti; (3) ada alasan (motif) dan dengan sarana dan cara tertentu objek sasaran tersebut terus menerus dipertanyakan; dan (4) temuan yang diperoleh tahap demi tahap disusun kembali dalam satu kesatuan sistem (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2002; Kerlinger, 2002).

Semua ilmu pengetahuan (science) itu pada dasarnya memiliki tiga landasan utama atau landasan filosofis, yaitu: Ontologi (membahas tentang hakikat objek yang dikaji); Epistemologi (membahas secara mendalam proses atau metode dan prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan); Aksiologi (membahas tentang manfaat yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia). Jadi, untuk membedakan jenis ilmu pengetahuan satu dengan ilmu pengetahuan yang lain dapat dilihat dari: Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. (Suriasumantri, 1996). Secara khusus ketiga landasan ilmu tersebut akan dibahas dalam uraian berikutnya.

Menurut para ahli, tujuan ilmu pengetahuan (science) meliputi: (1) tujuan dasar ilmu, yaitu menjelaskan fenomena-fenomena kehidupan, baik fenomena sosial atau alam secara sistematis, objektif, logis atau rasional; (2) tujuan lebih khusus, yaitu memberikan penjelasan, pemahaman, prediksi atau peramalan dan kontrol atau pengendalian. (Kerlinger, F., 2002); dan (3) untuk memahami fenomena alam dan sosial secara objektif (menurut apa adanya, bukan menurut apa seharusnya), sistematis, dan terbuka untuk diuji kembali melalui proses penelitian ilmiah.

Sedangkan mengenai klasifikasi ilmu pengetahuan. Menurut Driyarkara, dalam Sudiarja, dkk (2006) dijelaskan, bahwa pembagian ilmu pengetahuan dapat ditinjau dari beberapa segi, antara lain:

1. Menurut tujuannya, maka ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua yaitu: pure science (ilmu murni); dan apllied science (ilmu terapan). Pure science, adalah hanya ingin mengerti keberadaan yang sebenarnya saja, dan pertama-tama tidak diusahakan untuk dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan apllied science, adalah ilmu yang diterapkan, dipergunakan, dan langsung ditunjukkan kepada pemakaian pengetahuan itu. Jadi, apllied science menentukan bagaimana orang harus berbuat sesuatu, bagaimana cara manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Pure science dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) monotetis, yaitu menetapkan hukum-hukum yang universal, mempelajari objeknya dalam keabstrakannya, dan mencoba menemukan unsur-unsur yang selalu terdapat kembali dalam segala pernyataannya yang kongkret, kapan dan dimana saja. Contoh, ilmu murni monotetis adalah: ilmu alam, sosiologi, kimia, ilmu hayat; (b) ideografis (melukis), yaitu mempelajari objeknya dalam kongkretnya, menurut tempat dan waktu tertentu dengan sifat-sifatnya yang menyendiri. Contoh, ilmu murni ideografis adalah: sejarah, etnografi, sosiografi.

Apllied science, dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) normatif, yaitu ilmu yang menjelaskan bagaimana manusia harus berbuat, atau ilmu yang membebankan beragam kewajiban dan larangan dalam proses kehidupan, baik secara individu atau kelompok. Contoh ilmu normatif adalah pelajaran etika atau moral atau kesusilaan; (b) positif, yaitu ilmu yang menjelaskan bagaimana manusia harus mengerjakan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Contohnya, pertanian, teknik atau pertukangan, kedokteran, akuntasi.

1. Menurut objeknya, maka ilmu pengetahuan dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) universal (umum); dan (b) khusus. Ilmu pengetahuan umum (universal) adalah ilmu yang objek kajiannya menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia, misalnya: Teologi, Agama dan Filsafat. Objek kajian teologi (agama) dan filsafat adalah menyangkut hakikat segala sesuatu dalam hidup. Sedangkan ilmu pengetahuan khusus, yaitu ilmu yang objek kajiannya hanya menyangkut bidang kajian tertentu (objeknya terbatas), inilah yang biasanya disebut ‘ilmu pengetahuan’, yang meliputi: (a) ilmu-ilmu alam (natural sciences), misalnya: ilmu alam, fisika, kimia, biologi; (b) ilmu pasti (mathematics), misalnya ilmu pasti, ukur, hitung, aljabar; (c) ilmu-ilmu psikologi, sosial dan budaya, misalnya: ilmu jiwa, sejarah, sosiologi, antropologi, komunikasi, politik, hukum pendidikan, ekonomi, ilmu bahasa dan sebagainya. Masing-masing disiplin ilmu pengetahuan tersebut mempunyai fokus kajian atau objek kajian yang tidak sama.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa konsep penting yang dapat diambil kesimpulan tentang hakikat ilmu pengetahuan (science) antara lain:

1. Science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian absolut seperti dalam ajaran agama.
2. Science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang bersifat gaib, melainkan berkaitan dengan data-data empirik atau nyata.
3. Penjelasan science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam yang bersifat empirik atau fenomena empirik.
4. Kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya (Agus, B., 1999). Menurut Comte dalam Wibisono, K., (1983), bahwa perkembangan pola pemikiran manusia atau masyarakat adalah melalui tiga tahap, yaitu dari tahap teologis (fiktif), kemudian berkembang ketahap metafisik (abstrak) dan terakhir ke tahap positif. Pada tahap positif inilah berkembangnya ilmu pengetahuan.
5. Kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada (Kuhn, T., 1970), melalui penelitian terbaru yang menghasilkan teori baru.
6. Kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya (Keraf.S dan Dua, M.,2001). Oleh karena itu proses research yang berorientasi filosofis positivisme akan cenderung menghasilkan kesimpuan yang berbeda dengan research yang berorientasi filosofis idealisme.

C. Hakikat Ontologi Ilmu

Hakikat ontologi ilmu, adalah ‘hakikat apa yang dipelajari oleh suatu ilmu, atau hakikat objek kajian dari suatu ilmu’, oleh karena itu bentuk-bentuk pertanyaan ontologis ilmu pengetahuan adalah: Hakikat apa (objek apa) yang dikaji?; bagaimana wujud yang hakiki dari objek ilmu tersebut?; dan bagaimana hubungan antar objek–objek suatu ilmu tersebut? dan sejenisnya (Suriasumantri, J.S.,1996). Ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami dalam mengkaji tentang ontologi (hakikat apa yang dikaji) dalam ilmu, antara lain: metafisika; asumsi; peluang; keterbatasan science; dan keterpaduan science-religious suatu keniscayaan.

1. Metafisika

Menurut Aristoteles, metafisika merupakan cabang ilmu filsafat teoritis yang membahas tentang ‘masalah hakikat segala sesuatu’, sehingga metafisika oleh para ahli dianggap sebagai ‘inti dari filsafat’. Persoalan metafisika merupakan sesuatu yang paling mendasar (fundamental) dalam proses kehidupan manusia (Langeved, 1961; Drijarkoro, 1977). Cabang-cabang metafisika sebagai inti dari ilmu filsafat menurut Kattsoff (1996) adalah: (a) Ontologi (membicarakan tentang: ‘ada’, ‘eksistensi’, ‘substansi’, ‘realita’, atau hakikat ada); dan (b) Kosmologi (membicarakan tentang: ‘ruang’, ‘waktu’, ‘gerakan’).

Metafisika adalah ‘landasan dan pijakan’ berpikir setiap pemikiran filsafat. Dunia yang kelihatan nyata ini ternyata menimbulkan berbagai spekulasi filsafati tentang ‘hakikat apa atau hakikat kenyataan’. Apakah hakikat kenyataan ini sebenarnya?. Dari pertanyaan tersebut muncullah beberapa tafsiran metafisika untuk menjawab hakikat apa atau hakikat kenyataan kehidupan ini.

Menjawab pertanyaan metafisis tentang, apa hakikat kenyataan alam ini?, terdapat dua jawaban atau tafsiran manusia tentang hakikat kenyataan alam, antara lain: (1) bahwa hakikat alam atau kenyataan ini dikendalikan oleh ‘kekuatan gaib’. Alam tidak mempunyai kekuatan apa-apa, yang punya kekuatan adalah kekuatan gaib (supra natural). Dari sini muncul keyakinan animisme, dinamisme, politheisme, monotheisme. Paham seperti ini termasuk pandangan dari aliran teologisme; (2) bahwa hakikat alam atau kenyataan ini dikendalikan oleh kekuatan yang terdapat ‘dalam alam itu sendiri, tidak ditentukan oleh faktor eksternal’, bukan oleh kekuatan gaib. Paham ini disebut paham naturalisme, yang memunculkan prinsip materialisme dan eksistensialisme.

Menjawab pertanyaan metafisis tentang, apa hakikat kehidupan manusia itu?, terdapat dua jawaban atau tafsiran manusia tentang hakikat kehidupan manusia, antara lain: (1) paham mekanistik, mengatakan semua fenomena kehidupan (termasuk manusia dan binatang tumbuh-tumbuhan) hanya merupakan gejala kimia-fisika semata; (2) paham vitalistik, mengatakan hakikat kehidupan adalah sesuatu yang unik yang berbeda secara substantif dengan proses kimia-fisika. Dari kajian tentang hakikat manusia, maka muncul pertanyaan apakah kebenarannya hakikat pikiran manusia? Dari pernyataan ini muncul dua aliran, yaitu: (1) aliran monistik, yang berpandangan bahwa: ‘tidak ada beda antara pikiran dan zat (benda); ide dan benda punya substansi yang sama; proses berpikir dianggap aktivitas dari zat atau benda’; (2) aliran dualistik, aliran ini kebalikan dari aliran monistik. Aliran dualistik membedakan antara zat atau benda dengan kesadaran, jiwa (pikiran). Wujud jiwa atau pikiran merupakan mentalitas (tidak tampak), sedangkan zat adalah benda (sangat nampak).

Jadi, paham atau aliran tersebut itulah yang dijadikan dasar dalam menjawab hakikat apa, hakikat kenyataan atau hakikat objek ilmu. Contoh. (1) pertanyaan tentang apa hakikat kenyataan kehidupan ini?. Dari pertanyaan ini muncullah paham: (a) teologi, yang menganggap hakikat kenyataan kehidupan ini adalah ciptaan Tuhan dan manusia harus taat kepada Tuhan. Kekuatan spiritual merupakan infra struktur (pondasi hidup), sedangkan semua selain spiritual adalah supra struktur (perwujudan atau penjelmaan pondasi hidup); (b) materialisme, yang menganggap hakikat kenyataan kehidupan ini adalah materi atau atau pemenuhan kebutuhan materi. Sesuatu yang bukan materi adalah kosong. Materi adalah infra struktur, sedangkan jiwa adalah supra struktur (jelmaan dari materi); (2) pertanyaan tentang apa hakikat objek suatu ilmu?. Dari pertanyaan tersebut muncullah beragam paham, misalnya: (a) paham monistik, menurut paham ini hakikat objek ilmu adalah zat dan ide yang tunggal; (b) paham dualistik, menurut paham ini hakikat objek ilmu adalah zat dan benda yang menampilkan eksistensi yang berbeda.

2. Asumsi

Asumsi dalam perspektif filsafati, mengandung makna ‘anggapan dasar tentang hakikat kehidupan’ ini. Apakah kehidupan ini bersifat deterministik?, atau apakah hakikat kehidupan ini bersifat liberalistik?, atau apakah hakikat kehidupan ini bersifat probabilistik (kemungkinan determistik atau liberalistik)?.

Ketiga masalah makna anggapan dasar tentang hakikat hidup tersebut, akan dijawab oleh tiga asumsi hidup yang bersifat deterministik, atau liberalistik dan atau probabilistik, dengan penjelasan sebagai berikut: (a) paham deterministik dikembangkan oleh William Hamilton dari doktrin Thomas Hobbes. Konsep pokok dari paham ini menyimpulkan bahwa pengetahuan adalah bersifat empiris yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat universal. Paham ini menilai bahwa manusia ditentukan, dipengaruhi (terdeterminasi) oleh faktor eksternal, dan faktor eksternal itu adalah ilmu pengetahuan. Jadi paham determinisme tentang hakikat ilmu adalah ‘ilmu sebagai kekuatan dalam mempengaruhi seluruh dimensi kehidupan manusia’; (b) paham liberalistik (pilihan bebas), adalah pandangan yang menempatkan manusia mempunyai kemampuan untuk bebas memilih jalan atau langkah hidup, bebas berkehendak. Pandangan ini memunculkan paham eksistensialisme. Menurut paham ini (liberalis) adalah ‘sangatlah tidak benar meletakkan hakikat manusia yang bersifat khas dan individual itu di bawah kekuatan (tirani) pengetahuan yang bersifat umum’ (seperti pandangan deterministik). Dengan kemampuan berpikir dan menyimpan beragam pengalaman hidup serta kemampuan dalam memprediksi gejala, manusia bebas melakukan aktivitas hidup; (c) paham probabilistik, inti pokok dari paham ini dalam memaknai ‘anggapan dasar tentang hakikat kehidupan’ ini adalah ‘bahwa hakikat hidup manusia kemungkinan bisa deterministik dan kemungkinan bisa liberalistik’, peluang manusia untuk menjadi salah satu (determinis atau liberalis) adalah sama besarnya.

Menurut para ahli, selain ketiga pandangan tersebut ada satu prinsip dalam memaknai ‘anggapan dasar tentang hakikat kehidupan’ ini yang berkaitan dengan ilmu, yang harus diperhatikan yaitu ‘hakikatnya ilmu itu tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak atau kebenaran absolut’, karena hakikat kebenaran ilmu pengetahuan itu adalah bersifat relatif dan masih memberikan peluang untuk salah dalam memberikan angggapan dasar tentang hakikat kehidupan, atau asumsi ilmu pengetahuan masih berpeluang salah.

Dalam mengembangkan asumsi ada dua hal pokok yang harus diperhatikan, yaitu: (a) asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian ilmu. Asumsi harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis; dan (b) asumsi harus disimpulkan dari ‘keadaan semagaimana adanya’ (merupakan telaah ilmiah), bukan dari ‘bagaimana keadaan itu seharusnya (telaah moral). Jadi, rumusan asumsi terhadap suatu fenomena harus berdasarkan pada landasan teori tertentu, dan sesuai dengan realitas (fakta) serta tidak didasarkan oleh pertimbangan emosi atau pertimbangan-pertimbangan subjetivistik.

3. Peluang

Makna ‘peluang’ dalam perspektif kehidupan manusia sehari-hari sejatinya dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Pertama, makna ‘peluang’ yang melekat dengan ‘perjuangan atau ikhtiar’ hidup manusia. Dalam perspektif ini segala kehidupan manusia di dunia ini hakikatnya adalah ‘serba mungkin’, tergantung tingkat kualitas perjuangan dan ikhtiar manusia itu sendiri. Hakikat keberadaan manusia dalam hidup banyak faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor kualitas pemberdayaan potensi internal (kondisi fisik dan psikisnya, apakah bermutu atau tidak), faktor eksternal (kondisi lingkungan alam dan sosial budayanya, apakah menunjang atau menghambat) dan faktor supranatural (kekuatan di luar diri manusia dan lingkungan alam). Segala pola aktivitas manusia dalam hidup sama-sama punya peluang kearah: (a) lebih dominan pada kegagalan, penderitaan, kesengsaraan, dan kehancuran (destruktif) hidup; atau (b) lebih dominan pada keberhasilan, kebahagiaan, kesuksesan, kemakmuran, dan peradaban (civilization) hidup. Jadi, setiap manusia punya peluang sama untuk bisa berhasil atau gagal, dan faktor penyebab keberhasilan atau kegagalan seseorang itu bersifat multi aspek.

Ketika manusia dalam menjalankan segala sesuatu dalam hidupnya dengan didasarkan pada kualitas sikap mental: berpikir rasional, logis, sistematis, dan objektif; dirancang dengan baik, dipertimbangkan aspek positif-negatifnya; dianalisis beragam data yang diperoleh melalui pengamatan yang jeli; dan diprediksi kemungkinan ke depan yang akan terjadi dan kemudian dievaluasi atau direfleksi, maka ‘peluang’ manusia akan lebih besar ke arah keberhasilan, kebahagiaan, kesuksesan, kemakmuran, dan peradaban (civilization) hidup.

Demikian sebaliknya ketika manusia dalam menjalani aktivitas kehidupan dibidang apa saja tanpa didasarkan oleh kualitas dalam hal: berpikir rasional, logis, sistematis, dan objektif; dirancang dengan baik, dipertimbangkan aspek positif negatifnya; dianalisis beragam data yang diperoleh melalui pengamatan yang jeli; dan diprediksi kemungkinan ke depan yang akan terjadi dan kemudian dievaluasi atau direfleksi, maka ‘peluang’ manusia akan lebih besar ke arah kegagalan, penderitaan, kesengsaraan, dan kehancuran (destruktif) hidup.

Kedua, makna ‘peluang’ yang melekat pada ‘esensi keterbatasan manusia dan adanya kekuatan diluar diri manusia (supranatural). Dalam perspektif ini hakikat segala sesuatu dalam kehidupan di dunia ini adalah ‘serba mungkin’. Manusia tidak bisa memastikan segala sesuatu secara mutlak. Setiap rancangan dan tindakan apapun yang dilaksanakan manusia meskipun sudah sangat baik berdasarkan kriteria ilmiah, tetap saja memberikan peluang sekian persen untuk gagal atau tidak memenuhi target secara seratus persen. Contoh: (a) secara empirik berdasarkan perhitungan ilmu astronomi secara eksak tanda-tanda akan turun hujan telah lengkap, hal ini tetap memberikan peluang 0,5 % atau lebih untuk bisa terjadi tidak turun hujan; (b) secara medis (analisis ilmu kedokteran) penderita gagal ginjal kronis yang divonis akan meninggal satu tahun lagi, tetap memberikan peluang untuk hidup lebih dari satu tahun lagi. Oleh karena itu setiap analisis statistik dalam penelitian ilmiah tetap memberikan statdar eror 1 % atau lebih dalam hal keakuratan proses analisis datanya.

Jadi, berdasarkan uraian di atas memberikan kepahaman bahwa: (a) bertindak berdasarkan prinsip-prinsip atau tahap-tahap ilmiah diikuti tindakan dan mentalitas positif (kualitas mentalitas individu) akan memberikan ‘peluang’ yang lebih besar ke arah keberhasilan, demikian juga sebaliknya, ketika setiap perbuatan manusia tidak berdasarkan prinsip-prinsip atau tahap-tahap ilmiah dan tidak diikuti sikap mental positif akan memberikan ‘peluang’ yang lebih besar ke arah kegagalan hidup; dan (b) meskipun segala tindakan atau anggapan atau penilaian seseorang tentang sesuatu sudah berdasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dengan sikap mental positif tetap saja ‘ada peluang’ eror atau tidak sesuai dengan apa yang ‘dirancang, dinilai, dianggap’ sebelumnya. Hal ini terjadi karena hakikat keberadaan manusia adalah makhluk yang punya kelebihan dan kekurangan.

4. Keterbatasan science

Ilmu pengetahuan (science) yang dibangun diatas kerangka berpikir ilmiah, dihasilkan melalui proses penelitian ilmiah, dan terus dilakukan revisi melalui penelitian lanjutan, tetap memiliki beberapa keterbatasan. Berkaitan dengan penjelasan di atas, maka beberapa prinsip yang dapat dipahami berkaitan dengan keterbatasan sciences antara lain:

1. Hakikat batas-batas penjelajahan ilmu (science) adalah pada pengalaman manusia dan akan berhenti di batas pengalaman manusia itu sendiri. Di luar pengalaman dan jangkauan nalar manusia bukan medan penjelajahan ilmu pengetahuan. Misalnya apa yang terjadi setelah kematian manusia, surga dan neraka, dan sebab musabab kejadian manusia bukan medan kajian ilmu pengetahuan.
2. Alasan mengapa medan kajian ilmu pengetahuan hanya pada aspek pengalaman manusia, karena fungsi ilmu pengetahuan sendiri hanya sebagai alat membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup yang nyata di dunia, dan metode pembuktian ilmu pengetahuan sendiri yang menuntut adanya kebenaran empiris, sementara ada sesuatu dalam kehidupan ini yang tidak bisa dibuktikan secara empiris, sesuatu yang berada dijangkauan science, misalnya ruh manusia, cara kerja milyaran syaraf dalam tubuh manusia.
3. Apabila manusia merenungkan tentang hakikat kehidupan manusia secara makro, berarti batas-batas penjelajahan ilmu pengetahuan itu sangat sempit, karena dunia dengan segala isinya ini hakikatnya sangat sedikit yang bisa dibuktikan secara nyata, rasional dan empiris. Misalnya, tentang fenomena jagat raya dengan jutaan planet dan segala isinya, jangkauan ilmu pengetahuan untuk menjelajahnya sangat terbatas.
4. Dari ruang lingkup yang sempit itu, kemudian ilmu pengetahuan dikapling menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, yaitu: filsafat ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural philosophy sciences), dan filsafat ilmu-ilmu pengetahuan sosial (social philosophy sciences). Pembagian tersebut juga masih belum mampu menjelaskan segala fenomena osial dan fenomena alam yang begitu sangat luas, kompleks dan dinamik.
5. Dari pembagian tersebut kemudian ada pengelompokan ilmu-ilmu murni dan ilmu-ilmu terapan, serta masing-masing terdapat pembagian yang lebih khusus pada cabang-cabang ilmu pengetahuan baik dalam ilmu pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan sosial. Hakikat keberadaan beragam ilmu pengetahuan tersebut sejatinya adalah saling melengkapi dan saling memberi arti atau makna bagi kehidupan ummat manusia.

5. Keterpaduan science-religious suatu keniscayaan

Beberapa konsep penting yang menunjukkan hubungan antara ilmu atau ontologi ilmu dan agama merupakan suatu keniscayaan, antara lain:

1. Filsafat ilmu tidak mempersoalkan hubungan pandangan terhadap aktivitas ilmiah dengan hal-hal gaib, seperti hubungan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu agama mendorong manusia agar termotivasi untuk melakukan penelitian ilmiah dengan memperhatikan nilai-nilai moral keagamaan sebagai wujud pengabdian manusia sebagai makhluk kepada Tuhan sebagai Sang Khalik. Karena hakikatnya tidak semua fenomena alam di jagat raya dan fenomena psikologis manusia bisa didekati secara empiris, oleh karena itu dalam rangka memperoleh pemaknaan hidup secara komprehensif tentang ‘hakikat segala sesuatu’ maka pengembangan ilmu harus dibantu dengan nilai-nilai agama. Jadi, sejatinya keterbatasan science dalam mencermati hakikat fenomena hidup, justru semakin mendorong setiap ilmuwan untuk mengkaitkan science dengan agama demi meraih tingkat keunggulan manusia dalam hidup dan demi mendekatkan diri kepada Tuhan.
2. Hakikat objek dan tujuan fungsional setiap ilmu pengetahuan (baik ilmu sosial atau alam) adalah relatif sama dengan objek dan tujuan agama, yaitu sama-sama memberdayakan segala unsur yang ada dalam kehidupan ini untuk kemajuan, kualitas dan kemakmuran hidup ummat manusia. Demikian juga hakikat orientasi filosofis antara ilmu dan agama adalah relatif sama, yaitu mewujudkan ‘kebahagiaan dan kedamaian hidup hakiki bagi manusia’. Oleh karena itu, dalam memaknai hakikat objek kehidupan ini diperlukan pendekatan keterpaduan science, filsafat dan agama. Memadukan pendekatan science dan religious dalam pengembangan pengetahuan ilmiah, tidak berarti mendogmakan ilmu, karena dalam ajaran agama banyak hal-hal yang bersifat tidak absolut, atau hal-hal yang bersentuhan dengan realitas kehidupan sehari-hari (empirik), baik menyangkut kehidupan alam maupun kehidupan sosial budaya, atau banyak sekali prinsip ajaran dalam agama yang bersifat praktis dan rasional (Rasjidi, 1965).
3. Pada hakikatnya, objektivitas dalam ilmu pengetahuan bukanlah bersifat objektivistik. Objektivitas dalam ilmu pengetahuan masih tetap terjamah oleh kepentingan, motivasi, tujuan yang bersifat subjektif dan aspiratif seorang ilmuwan, karena hakikatnya tidak ada sesuatu yang dilakukan oleh setiap individu tanpa campur tangan kepentingan psikologis manusia yang sangat kompleks, fleksibel, dinamik, unik dan situasional. Seorang ilmuwan natural science dalam memilih masalah yang akan dibidik untuk diteliti dan dalam menetapkan rancangan research akan tetap melibatkan kapasitas dan pergolakan jiwa dan pikirannya yang subjektif dan unik, itulah sebabnya antara ilmuwan natural science satu dengan yang lain akan tetap menampilkan keberagam selera dalam mencermati fenomena alam, sehingga muncul beragam spesialisasi-spesialisasi ilmu. Jadi, hakikat pengembangan ilmu pengetahuan tidak akan pernah bebas dari nilai (value free), disini membuktikan adanya hubungan antara science dengan value.
4. Pandangan ilmiah yang disimpulkan dari pengamatan terhadap alam dan kehidupan manusia mempunyai padanan atau hampir sejalan dengan paham teologi dalam masalah takdir dan ikhtiar. Paham kausalitas sejalan dengan keyakinan free will (qadariyah). Pandangan bahwa gejala alam dan kehidupan tidak beraturan (stokastik atau accidental) sejalan dengan paham jabariyah. Paham teologi ilmuwan hampir tidak ada yang sepenuhnya fatalistis (Jabariyah) dan sepenuhnya free will (daqariyah). Pada umumnya mereka berpaham bahwa manusia diperintahkan berusaha memaksimalkan segala potensi yang dimiliki dalam kehidupan dan bila kemudian tidak berhasil, barulah mengembalikannya kepada ketentuan Tuhan (Mutahhari, 1997; Drijarkara, N.,1978; Agus, B., 1999).

D. Hakikat Epistemologi Ilmu

Epistemologi, yaitu membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran atau kesahih-an (valid) data diatas segala-galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research), atau epistemologi merupakan ‘cara mendapatkan pengetahuan yang benar’. Persoalan kunci atau utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan adalah ‘bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing’. Dan perlu dipahami hakikatnya ilmu itu mempunyai dua peranan yaitu: satu pihak sebagai metafisika, sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense).

Dalam rangka memahami hakikat epistemologi, maka berikut ini akan diuraikan tentang: Pengetahuan; Metode ilmiah; Struktur ilmu pengetahuan, dan Beberapa konsep tentang penelitian ilmiah.

1. Pengetahuan

Penjelasan tentang ‘pengetahuan’ telah dijelaskan pada sub bab hakikat ilmu pengetahuan di atas, yaitu meliputi komponen ilmu pengetahuan, tujuan ilmu pengetahuan, klasifikasi ilmu pengetahuan, dan hakikat ilmu pengetahuan, oleh karena itu pada bagian ini tidak akan dijelaskan ulang tentang konsep-konsep tersebut (periksa kembali uraian di atas). Pengetahuan hakikatnya merupakan ‘segenap apa yang kita ketahui tentang sesuatu objek tertentu, termasuk di dalamnya adalah ilmu, seni dan agama (Suriasumantri, J.S. 1996; Agus, B.1999; Sumarna, C., 2006; Tafsir, A. 2007).

Setiap jenis pengetahuan hakikatnya mempunyai ciri-ciri dalam membangun ilmu pengetahuan yang bersifat spesifik berkaitan dengan ‘apa’ (ontologi), ‘bagaimana proses’ (epistemologi) dan ‘untuk apa’ (aksiologi) pengetahuan itu. Ketiga landasan tersebut saling kait mengkait, bagaikan sebuah ‘sistem’, disamping itu ketiga landasan tersebut yang membedakan antara disiplin ilmu pengetahuan satu dengan yang lainnya.

Ilmu, seni dan agama mempunyai medan kajian yang berbeda. Ilmu mencoba untuk mencarikan penjelasan mengenai fenomena sosial-budaya dan alam untuk menjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum dan impersonal. Sedangkan seni dan agama lebih bersifat individual, subjektif dan personil, artinya kerangka pengembangan seni dan agama lebih banyak diwarnai oleh aspek individual, subjektif dan personil.

1. Metode ilmiah

Pada pembahasan di bab IV telah disinggung tentang pengertian metode dan beberapa fungsi metode dalam kerangka logika formal maupun logika material (mohon diperiksa kembali). Berikut ini dijelaskan beberapa prinsip yang perlu dipahami tentang metode ilmiah, antara lain:

1. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan. Sedangkan metodologi ilmiah, merupakan pengkajian dari peraturan-peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah, atau ‘ilmu tentang cara-cara memperoleh pengetahuan ilmiah’ (Kerlinger, F.N. 1980). Metodologi ilmiah inilah secara filsafati disebut epistemologi ilmu.
2. Metode ilmiah juga merupakan ekspresi mengenai cara bekerja pikiran untuk mencari kebenaran ilmiah. Dalam filsafat ilmu, kebenaran ilmiah seharusnya merupakan perpaduan antara cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif. Hakikatnya kebenaran ilmiah yang hanya mendasarkan pada kerangka berpikir deduktif atau logika formal (kriteria kebenaran koherensi) tidak akan pernah sanggup melakukan kesimpulan dari kajian ilmiah secara komprehensif dan final, oleh karena itu diperlukan perpaduan dengan kerangka berpikir secara induktif atau logika material (kriteria kebenaran korespondensi). Hal ini disebabkan hakikat realitas kehidupan selalu tampil dalam wujud pluralistis atau multidimensional. Bahkan selain kerangka berpikir secara deduktif dan induktif masih belum cukup, masih diperlukan sentuhan pola pikir yang berorientasi pada nilai-nilai moral (etik) religious agar keberadaan ilmu tersebut memperoleh nilai ontologis atau pragmatis yang unggul bagi kehidupan manusia dan lingkungannya.
3. Metode berpikir seseorang mengalami perkembangan dari pola yang sangat sederhana ke arah kompleks. Van Peursen (1976), membagi perkembangan pola budaya berpikir manusia dalam proses kehidupan di masyarakat menjadi tiga tahap, yaitu: (1) tahap mistis, yaitu setiap manusia menghadapi beragam tugas dan persoalan hidup selalu dicari solusi secara mistis atau gaib. Pada tahap ini seluruh aktifitas manusia selalu dikaitkan atau menyatu dengan supranatural. Pada tahap ini umumnya terjadi pada masyarakat primitif atau tradisional; (2) tahap ontologis, yaitu setiap manusia menghadapi beragam tugas dan persoalan hidup sudah mulai mencoba untuk mencari akar atau dasar-dasar rasional tetapi masih tidak bisa lepas sama sekali dengan dimensi mistik atau gaib. Manusia sudah mulai mengambil jarak dengan kekuatan dunia mistik, dan mulai menggunakan akal sehat atau rasionalnya. Umumnya hal ini terjadi pada masyarakat peralihan; dan (3) tahap fungsional, yaitu manusia dalam memecahkan beragam tugas dan persoalan hidupnya selalu mendasarkan pada rasionalitas, mengandalkan kemajuan ilmu pengetahuan, menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan beragam problem atau persoalan kehidupan. Pada tahap ini manusia tidak lagi terikat oleh kekuatan dunia mistik atau gaib. Tahap ini umumnya terjadi pada masyarakat modern.
4. Metode ilmiah adalah penting bukan saja dalam proses penemuan pengetahuan, namun lebih-lebih lagi dalam mengkomunikasikan penemuan ilmiah kepada masyarakat ilmuwan. Menurut J. Bronowski, dalam Suriasumatri (1996), hakikat metode ilmiah adalah bersifat sistematis dan eksplisit. Sifat eksplisit ini memungkinkan terjadinya komunikasi yang intensif pada kalangan masyarakat ilmuwan.
5. Kerangka metode berpikir ilmiah yang berintikan proses logico hypothetico verifikatif pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut, yaitu: perumusan masalah, penyusunan kerangka berpikir, perumusan hipotesis, pengujian hipotesis, dan penarikan kesimpulan.
1. Struktur ilmu pengetahuan

Ditinjau dari ‘dimensi ilmu’, maka suatu ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) fenomena ilmu pengetahuan; dan (b) struktur ilmu pengetahuan. Ada tiga aspek yang merupakan bagian kajian fenomena ilmu pengetahuan, yaitu: masyarakat ilmuwan; proses pencarian ilmu; dan produk atau hasil dari ilmu pengetahuan berupa teori-teori atau dalil-dalil atau proposisi-proposisi. Sedangkan struktur ilmu pengetahuan sebenarnya membicarakan tentang objek ilmu pengetahuan, prosedur kajian ilmu pengetahuan atau metode kajian ilmiah dan fungsi ilmu pengetahaun.

Pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah sejatinya merupakan pengetahuan yang telah memenuhi syarat-syarat keilmuan, dengan demikian disebut pengetahuan ilmiah (science). Suatu pengetahuan ilmiah akan mempunyai tiga fungsi, yaitu:

1. Menjelaskan, secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan ilmiah, yaitu: penjelasan deduktif dan induktif; penjelasan probabilistik; penjelasan fungsional dan teologis; dan penjelasan genetik.
2. Meramalkan, maksudnya adalah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum atau dalil. Hukum pada hakikatnya merupakan persyaratan yang menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel dalam suatu kaitan sebab akibat. Dari teori dan hukum inilah dapat diramalkan kejadian, gejala atau fenomena yang akan terjadi (meskipun tidak mutlak, karena memang kebenaran ilmu pengetahuan bukan kebenaran mutlak atau absolut).
3. Mengontrol, artinya pengetahuan ilmiah akan memberikan penjelasan tentang ‘mengapa’ suatu gejala itu terjadi, sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang ‘apa yang mungkin terjadi’. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan ‘alat’ yang dapat kita pergunakan untuk mengontrol gejala atau fenomena alam (Suriasumantri, J.S. 1996).

4. Beberapa konsep tentang penelitian ilmiah

Setiap peneliti apabila ingin melakukan kegiatan penelitian ilmiah, terlebih dahulu dia betul-betul harus memahami apa hakikat penelitian ilmiah (scientific research) itu?. Berikut ini beberapa konsep penting yang perlu dipahami berkaitan dengan penelitian ilmiah.

a. Pengertian penelitian ilmiah

Dikalangan orang awam istilah penelitian ilmiah, sering dipahami sebagai kegiatan orang yang berpendidikan tinggi, setiap hari kerja keras dan bergelut di laboratorium untuk meneliti beragam zat dan gejala alam dengan penuh keseriusan untuk dikaji dan dilaporkan dengan baik. Sebenarnya setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya tidak pernah lepas dari kegiatan untuk meneliti, dan kegiatan penelitian tidak selalu harus di laboratorium, Contoh: (a) seorang guru atau dosen dapat melakukan penelitian di kelas pada saat dia mengajar (penelitian tindakan kelas); (b) seorang mahasiswa dapat melakukan penelitian di laboratorium dan di lingkungan tempat tinggalnya. Demikian juga seorang pedagang, seorang petani dan sebagainya, dapat melakukan kegiatan penelitian yang berkisar masalah-masalah dalam kehidupan sehari-harinya.

Banyak definisi tentang penelitian ilmiah yang telah dikemukakan oleh para ahli, munculnya beragam definisi tersebut karena adanya: (a) perbedaan orientasi filosofis dan teori yang dianut oleh peneliti, (b) perbedaan latar belakang disiplin ilmu yang dimiliki dan perbedaan kehidupan sosial-budayanya; dan (c) perbedaan fokus persoalan yang dipilih untuk dikaji. Secara umum pengertian penelitian ilmiah adalah suatu proses pengumpulan data dan analisis data yang dilakukan dengan memperhatikan metode ilmiah, yaitu sistematis, logis dengan menggunakan pendekatan kuantitatif atau kualitatif. Menurut Kerlinger, F. (2002), pengertian penelitian ilmiah adalah ‘penyelidikan yang sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena-fenomena alami, dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang dikira terdapat antara fenomena-fenomena itu’.

Berdasarkan beberapa definisi tentang penelitian ilmiah dapat disimpulkan, bahwa penelitian ilmiah adalah ‘proses penyelidikan atau penelaahan yang dilakukan individu, berkaitan dengan fenomena kehidupan dengan memperhatikan metodologi research secara ketat, misalnya: orientasi teoritis, observasi ilmiah, sistematis, rasional, empiris, dan melalui beberapa tahapan tertentu sampai pada kesimpulan penelitian’

Kemudian faktor-faktor apakah yang mendorong seseorang melakukan penelitian?. Paling tidak ada enam sebab atau latar belakang manusia mempunyai kecenderungan untuk melakukan penelitian ilmiah, antara lain:

1) Pengetahuan manusia sangat terbatas untuk memahami begitu kompleksnya fenomena kehidupan di jagat raya ini, sehingga manusia perlu terus menerus melakukan research secara ilmiah.

2) Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk berpikir secara logis, objektif, sistematis dan analitis terhadap gejala sosial dan gejala alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga manusia selalu ingin melakukan penelitian untuk mengetahui tentang fenomena kehidupan tertentu dalam rangka proses pemenuhan beragam kebutuhan hidup, baik secara pribadi atau kelompok (Suriasumantri, J.S., 1996).

3) Manusia selama proses aktivitas hidupnya selalu dihadapkan pada beragam problema atau permasalahan hidup. Beragam problema hidup tersebut menuntut pemecahan secara baik, oleh karena itu perlu adanya research ilmiah agar beragam persoalan hidup tersebut bisa diatasi dengan baik

4) Manusia adalah makhluk yang diberi kemampuan untuk mengkomunikasikan dengan bahasa yang baik, terhadap hasil pengamatan dan kajian ilmiah terhadap gejala sosial dan gejala alam tersebut kepada sesamanya, untuk mencapai kualitas kehidupan. Jadi, kegiatan meneliti merupakan suatu bagian penting dalam kehidupan manusia.

5) Manusia adalah makhluk yang mempunyai kecenderungan untuk tidak puas, selalu ingin membaharui (inovasi) terhadap karya budaya yang telah dimiliki. Hal ini menyebabkan manusia selalu ingin melakukan penelitian ilmiah menyangkut berbagai aspek kehidupan, semua dilakukan dalam rangka meraih kemajuan diberbagai bidang kehidupan (Lauer, 1978; Sztompka, P., 1993).

6) Manusia adalah makhluk yang cenderung pengetahuan dan ketrampilannya terus bertambah atau berakumulasi dan terus melakukan kegiatan research ilmiah dalam rangka melakukan revolusi ilmu pengetahuan di berbagai bidang hidup yang kompleks (Khun, T., 1970). Jadi, kegiatan penelitian ilmiah sejatinya adalah ‘suatu tuntutan secara tidak langsung dari hasil penelitian ilmiah sebelumnya, karena setiap hasil penelitian ilmiah memerlukan penyempurnaan dan refleksi penelitian berikutnya’.

Dalam kaitannya dengan proses penelitian ilmiah, ada beberapa sikap ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap peneliti ilmu sosial atau ilmu alam, antara lain: (1) peneliti harus mempunyai wawasan yang cukup tentang orientasi filosofis dan teoritis dalam memahami fenomena hidup, oleh karena itu setiap peneliti harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan; (2) peneliti harus memiliki sikap objektif dan peneliti selalu memulai pembicaraannya berdasarkan fakta dan data; (3) peneliti harus memiliki sikap terbuka terhadap berbagai saran, kritik dan perbaikan dari berbagai pihak terhadap hasil penelitiannya; (4) peneliti harus memiliki sikap ingin tahu terhadap objek yang diteliti, dan selalu haus akan pengetahuan baru (peka terhadap informasi dan data); dan (5) peneliti harus memiliki daya cipta, kreatif dan senang terhadap kegiatan inovasi di berbagai bidang kehidupan (Bungin, B., 2001; Salim, A., 2001).

Selain sikap tersebut, ada beberapa kemampuan ilmiah yang harus dimiliki oleh setiap peneliti ilmu sosial atau ilmu alam, antara lain: (1) peneliti harus mempunyai kemampuan daya kritik, berpikir sistematik dan berwawasan luas; (2) peneliti harus mempunyai kemampuan mencipta atau mengemukakan sesuatu yang baru, karena aktivitas penelitian harus selalu menemukan sesuatu yang baru; (3) peneliti harus mampu melihat sesuatu masalah dalam konteks (ruang lingkup) yang luas atau dalam; (4) peneliti harus mampu melihat gejala sosial budaya yang layak untuk diteliti, dan mampu merumuskan masalah dengan baik serta menganalisisnya secara benar; dan (5) peneliti harus mampu melakukan penelitian lanjutan atau mengulangi penelaahan (replicate the study) dalam rangka lebih memperkuat hasil penelitian sebelumnya. Semua kemampuan tersebut tidak secara langung dimiliki oleh peneliti, tetapi melalui suatu proses pembelajaran atau praktik research terus menerus, oleh karena itu bagi peneliti pemula tidak boleh berpandangan pesimis, kelima kemampuan tersebut akan dimiliki dengan sendirinya apabila peneliti terus menerus melakukan penelitian ilmiah.

b. Tujuan penelitian ilmiah

Perkembangan ilmu pengetahuan sangat dipengaruhi oleh berkembangnya kegiatan penelitian ilmiah. Antara penelitian ilmiah dan ilmu pengetahuan adalah ibarat dua sisi dalam satu keping mata uang. Hal ini disebabkan, penelitian akan berkurang maknanya kecuali bila digunakan untuk kebutuhan ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuan akan menjadi mandul (tidak berkembang) bila tanpa penelitian ilmiah.

Berikut ini termasuk beberapa tujuan proses penelitian ilmiah antara lain: (1) untuk memperoleh informasi baru tentang pengetahuan tertentu, misalnya: pengetahuan sejarah, sosiologi, psikhologi, komunikasi, politik, hubungan internasional, ekonomi, pendidikan, biologi, fisika dan sebagainya; (2) untuk menjelaskan dan mengembangkan suatu pengetahuan tertentu. Peneliti yang dalam proses penelitiannya telah bekerja secara baik sesuai dengan prosedur ilmiah akan mampu menjelaskan fakta-fakta penting dan menolak atau mendukung atau mengembangkan teori yang ada; (3) untuk menerangkan, memprediksi dan mengontrol suatu fenomena sosial dan alam yang ditelitinya. Dengan rancangan penelitian dan prosedur penelitian ilmiah yang ketat, maka peneliti akan dapat menerangkan secara jelas tentang hubungan antar variabel yang diteliti atau akan mampu mendeskripsikan secara sistematis, logis tentang objek penelitiannya, dan akhirnya mampu memprediksi dan mengkontrol apa yang terjadi diantara variabel yang dikajinya (Sukardi, 2004); dan (4) untuk memberikan rekomendasi teoritis dan rekomendasi praktis. Setiap penelitian ilmiah diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, memberi wacana atau masukan pemikiran baru bagi suatu lembaga tertentu serta mendorong terjadinya penelitian lanjutan. Disamping itu hasil penelitian ilmiah harus mampu memberikan nilai fungsional bagi aktivitas kehidupan kelompok atau masyarakat atau bangsa dalam proses pembangunan di berbagai bidang kehidupan.

c. Langkah-langkah dalam melakukan penelitian ilmiah

Pada penjelasan di muka telah dikemukan pendapat Horton and Hunt (1984) tentang delapan tahap yang harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian ilmiah. Senada dengan pandangan tersebut, menurut Jujun S. Suriasumantri (1996) lebih rinci menjelaskan tentang beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh peneliti dalam melakukan proses penelitian ilmiah dan penulisan ilmiah, yaitu: Pertama, langkah pertama dalam suatu penelitian ilmiah adalah mengajukan rumusan masalah. Secara kronologis dapat kita simpulkan enam kegiatan dalam langkah pengajuan masalah, yaitu: (a) merumuskan latar belakang masalah; (b) melakukan identifikasi masalah; (c) melakukan pembatasan masalah; (d) merumuskan masalah; (e) merumuskan tujuan penelitian; (f) merumuskan kegunaan penelitian, dan (g) merumuskan keterbatasan hasil penelitian.

Kedua, setelah merumuskan masalah penelitian, peneliti harus menyusun kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis. Secara ringkas langkah-langkah dalam penyusunan kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis adalah: (a) pengkajian mengenai teori-teori yang akan dipergunakan dalam analisis; (b) pembahasan mengenai penelitian-penelitian terdahulu yang relevan; (c) penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis dengan mempergunakan premis-premis sebagai tercantum dalam poin a dan b dengan menyatakan secara eksplisit (tersurat) postulat, asumsi dan prinsip yang dipergunakan; dan (d) perumusan hipotesis.

Ketiga, setelah menyusun kerangka teoritis dan pengajuan hipotesis, peneliti melakukan penyusunan metode penelitian. Sedangkan langkah-langkah penyusunan metode penelitian adalah: (a) tujuan penelitian secara lengkap dan operasional dalam bentuk pernyataan yang mengidentifikasikan variabel-variabel dan karakteristik hubungan yang akan diteliti; (b) tempat dan waktu penelitian atau setting penelitian, yang menjelaskan bagaimana kondisi lokasi penelitiannya; (c) metode penelitian yang ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian dan tingkat generalisasi yang diharapkan; (d) teknik pengambilan contoh yang relevan dengan tujuan penelitian, tingkat keumuman dan metode penelitian; (e) teknik pengumpulan data yang mencakup identifikasi variabel yang akan dikumpulkan, sumber data, teknik pengukuran, instrumen dan teknik mendapatkan data; dan (f) teknik analisis data mencakup langkah-langkah dan teknik analisis yang dipergunakan ditetapkan berdasarkan pengajuan hipotesis.

Keempat, mengemukakan hasil penelitian, sedangkan kegiatan dalam menyusun hasil penelitian antara lain: (a) menyatakan variabel-variabel yang diteliti; (b) menyatakan teknik analisis data; (c) mendeskripsikan hasil analisis data; (d) memberikan penafsiran terhadap kesimpulan analisis data; (e) menyimpulkan pengujian hipotesis apakah ditolak atau diterima; dan (f) melakukan pembahasan dari hasil uji hipotesis, dengan mengkaitkan teori yang menjadi orientasi penelitiannya.

Kelima, menyusun ringkasan dan kesimpulan, sedangkan langkah-langkahnya adalah: (a) mendeskripsikan secara singkat mengenai masalah, kerangka teoritis, hipotesis, metodologi dan penemuan penelitian; (b) kesimpulan penelitian yang merupakan sintesis berdasarkan keseluruhan aspek tersebut di atas; (c) pembahasan kesimpulan penelitian dengan melakukan perbandingan terhadap penelitian lain dan pengetahuan ilmiah yang relevan; (d) mengkaji implikasi penelitian, yang meliputi implikasi teoritis dan implikasi praktis; dan (e) mengajukan saran-saran.

Keenam, mencantumkan daftar pustaka secara benar, kemudian diikuti dengan penyusunan beberapa lampiran yang berkaitan dengan proses penelitian, misalnya: surat ijin penelitian, angket atau alat perekaman atau pengumpulan data penelitian, beberapa data penunjang yang diperlukan dalam proses penelitian sampai daftar riwayat hidup peneliti.

d. Karakteristik dan beragam jenis penelitian ilmiah

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli, paling tidak ada tiga belas karakteristik penelitian ilmiah, antara lain:

1) Mempunyai rumusan masalah dan tujuan penelitian yang jelas. Diantara fungsi rumusan masalah dan tujuan penelitian adalah untuk memberikan arah, ruang lingkup dan target apa yang hendak dicapai dalam proses penelitian ilmiah.

2) Menentukan jenis pendekatan dan strategi penelitian tertentu, misalnya: bisa menggunakan pendekatan kuantitatif, atau pendekatan kualitatif atau pendekatan gabungan kuantitatif-kualitatif (mixing methods).

3) Mempunyai metode pengumpulan data, misalnya metode: observasi, angket, dokumen, wawancara, dan tes.

4) Mempunyai desain atau rancangan penelitian yang sudah disusun sejak awal sebelum penelitian dilakukan. Rancangan penelitian ini biasanya dituangkan dalam proposal penelitian.

5) Mempunyai sasaran objek yang dikaji atau populasi dan sampel penelitian.

6) Mempunyai orientasi filosofis atau teoritik dalam proses penelitian. Setiap kegiatan penelitian ilmiah seharusnya ada orientasi filosofis atau teoritik yang akan menjadi arahan (orientasi) dalam proses analisis data.

7) Melakukan proses perekaman, dan pencatatan data secara akurat dengan menggunakan instrumen penelitian tertentu yang dipakai.

8) Melakukan validasi dan reliabelitas instrumen (untuk strategi penelitian kuantitatif) atau keabsahan data (untuk strategi penelitian kualitatif).

9) Melakukan kontrol, khususnya dalam penelitian eksperimen. Hal ini penting agar variabel lain yang tidak diperlukan tidak berintervensi pada variabel yang ditelitinya.

10) Menggunakan strategi analisis data yang tepat, logis, misalnya: analisis statistik, atau analisis deskriptif kualitatif, atau analisis gabungan (kuantitatif-kualitatif).

11) Melakukan interpretasi data atau melakukan pembahasan hasil analisis data, apakah menolak teori, mendukung teori, mengembangkan atau menemukan teori (proposisi penelitian).

12) Mempunyai keberanian untuk mengungkapkan fenomena sosial dan alam secara objektif, meminimalisir aspek subjektivitas pribadi atau kelompok.

13) Hasil penelitian mempunyai nilai fungsional (aksiologi) bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat (Sugiyono, 2007).

Sedangkan mengenai jenis atau bentuk penelitian ilmiah adalah sangat beragam. Menurut para ahli ada beberapa jenis atau bentuk penelitian ilmiah antara lain:

1. Penggolongan penelitian menurut fungsinya, yaitu dibedakan menjadi empat jenis: (1) penelitian dasar (basic research), yaitu penelitian yang berfungsi untuk perluasan atau pengembangan ilmu pengetahuan tanpa memikirkan nilai fungsional bagi masyarakat sekarang. Umumnya penelitian dasar ini dilakukan pada kelompok natural science (Astronomi, Fisika, Kedokteran; (2) penelitian terapan (applied research), yaitu penelitian yang berfungsi atau bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang ada di masyarakat. Jadi, penelitian terapan ini mempunyai nilai fungsional atau nilai pragmatis bagi kehidupan masyarakat. Diantara contoh penelitian terapan adalah: survei produksi dan konsumsi; action research; penelitian pertanian; penelitian arsitektur, akuntansi, implementasi kurikulum, dan sebagainya; (3) penelitian pengembangan (research and development), yaitu.penelitian yang berfungsi atau bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan memvalidasi suatu produk. Jenis penelitian ini merupakan ‘jembatan’ antara penelitian dasar dan penelitian terapan (Sugiyono, 2007); dan (4) penelitian evaluatif (evaluation research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk menilai manfaat, sumbangan atau kelayakan dari suatu kegiatan atau unit tertentu. Penelitian ini membutuhkan data kuantitatif dan kualitatif, dan lebih bersifat aplikatif. Ada dua jenis penelitian evaluatif, yaitu penelitian tindakan (action research) dan penelitian kebijakan (policy research) (Nurgiyantoro, dkk,. 2002).

b. Penggolongan penelitian menurut bidang ilmu atau garapan, dapat dibedakan menjadi: penelitian Sosiologi; penelitian Pendidikan dan non pendidikan; penelitian Hukum; penelitian Ekonomi; penelitian Bahasa, penelitian Antropologi, penelitian Biologi; penelitian Sejarah dan sebagainya.).

1. Penggolongan penelitian menurut tingkat kealamiahan, dapat dibedakan menjadi: (a) penelitian eksperimen. Penelitian ini sangat tidak alamiah karena tempat penelitiannya di laboratorium dalam kondisi yang terkontrol sehingga tidak terdapat pengaruh dari luar. Tetapi sebenarnya penelitian eksperimen bidang ilmu-ilmu sosial tidak harus di dalam laboratorium, tetapi bisa di lapangan atau di tengah kehidupan masyarakat; (b) penelitian survei, jenis penelitian ini sering disebut penelitian normatif atau penelitian status. Pada umumnya pada penelitian ini menggunakan variabel dan populasi yang luas sesuai dengan tujuan penelitiannya. Penelitian eksperimen dan survei di atas adalah termasuk penelitian yang menggunakan metode kuantitatif atau analisis datanya menggunakan statistik; (c) penelitian naturalistik, yaitu jenis penelitian yang sering disebut penelitian kualitatif (Sugiyono, 2007) dengan analisis datanya secara naratif deskriptif kualitatif.

d. Penggolongan penelitian menurut tempat penelitian. Dapat dibedakan menjadi: Penelitian Perpustakaan (Kajian buku-buku ilmiah di perpustakaan); Penelitian Laboratorium (melakukan uji coba atau eksperimen di laboratorium).

e. Penggolongan penelitian menurut aspek metode dan pendekatan, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu: (1) penelitian deskriptif, yaitu jenis penelitian yang berusaha untuk menggambarkan, menjelaskan secara detail, sistematis, logis tentang objek tertentu. Penelitian ini umumnya dilakukan pada bidang ilmu sosial dan budaya; (2) penelitian sejarah (historical research atau historiografi), jenis penelitian ini hampir sama dengan penelitian deskriptif, tetapi ada perbedaan khusus, yaitu lebih menekankan pada metode wawancara tak terstruktur dengan pelaku sejarah dan dalam melakukan analisis data dokumen melakukan kritik intern dan kritik ekstern; (3) Penelitian kuantitatif (quantitative research), yaitu penelitian yang berorientasi pada paham positivisme, dan bertujuan untuk mencari hubungan dan menjelaskan sebab-sebab perubahan dalam fakta sosial yang terukur, analisis datanya menggunakan statistik; (4) penelitian kualitatif (qualitative research), yaitu penelitian yang berorientasi pada paham konstruktivisme atau interpretif, yang bertujuan untuk menjelaskan realitas kehidupan sehari-hari secara alamiah, analisis datanya berupa kalimat rinci dan sistematis, logis (Sugiyono, 2007). Secara khusus dalam pembahasan berikutnya akan dijelaskan tentang perbedaan penelitian kuantitatif dan kualitatif; (5) penelitian longitudinal, yaitu penelitian yang ingin mengetahui perkembangan suatu gejala yang cukup lama, misalnya peneliti ingin mengetahui perkembangan kemampuan berpikir anak SD kelas I sampai kelas VI, maka peneliti melakukan pencatatan perkembangan kemampuan berpikir anak dari kelas I sampai kelas VI pada objek yang sama (jadi butuh waktu 6 tahun); (6) penelitian cross-sectional, yaitu penelitian yang tidak menggunakan sasaran penelitian yang sama, misalnya ingin mengetahui perkembangan berpikir anak SD kelas I sampai VI, maka dalam waktu bersamaan merekam perkembangan berpikir anak SD kelas I sampai kelas VI, jadi kebalikan dari longitudinal, tidak perlu waktu lama; (7) penelitian evaluasi atau hampir sama dengan penelitian assesment. Secara umum penelitian evaluasi adalah bertujuan untuk menjawab apakah suatu proyek tertentu telah berjalan sesuatu dengan program yang telah ditetapkan (Bungin, B., 2001; Idrus, 2007).

1. Penggolongan penelitian berdasarkan tujuannya, yaitu dibedakan menjadi: (1) penelitian deskriptif (descriptive research), jenis penelitian ini bisa juga dilihat dari segi metode atau pendekatan seperti yang disinggung di atas; (2) penelitian prediktif (predictive research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperkirakan apa yang akan terjadi berdasarkan analisis data saat dilakukannya penelitian. Umumnya penelitian ini bersifat studi korelasional (correlational studies) dan studi kecenderungan (trend studies); (3) penelitian improvetif (improvetive research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki, meningkatkan atau menyempurnakan suatu keadaan atau pelaksanaan suatu program tertentu. Termasuk dalam jenis penelitian ini misalnya penelitian tindakan (action research), penelitian dan pengembangan (research and development), penelitian eksperimental; dan (4) penelitian eksplanatif (explanation research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan penjelasan tentang hubungan antar fenomena atau variabel yang diteliti (Sugiyono, 2007).

5. Orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian

Orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian ilmiah ini akan menjelaskan tentang tiga hal, yaitu: orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian kuantitatif; orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian kualitatif; dan orientasi filosofis dan ciri pendekatan penelitian gabungan (kuantitatif dan kualitatif).

a. Orientasi filosofis dan ciri penelitian kuantitatif

Pada masyarakat ilmuwan telah lama terjadi perdebatan panjang dan tetap berlangsung sampai sekarang tentang cara terbaik dalam memahami fenomena sosial-alam melalui kegiatan penelitian ilmiah. Perdebatan tersebut karena adanya: perbedaan orientasi filosofis, perbedaan orientasi teori dalam penelitian, dan perbedaan metode atau pendekatan penelitiannya (Poloma, M.M. 1979; Cambell, T. 1981). Ada dua orientasi filosofis yang selalu menjadi acuan dalam menemukan atau mengembangkan teori dan dalam kegiatan penelitian ilmiah, yaitu:

Pertama, orientasi filosofis positivisme atau rasionalisme atau objektivisme. Proses penelitian ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan penelitiannya adalah kuantitatif; (b) analisis datanya menggunakan statistik; (c) hakikat realitas hidup adalah tunggal; (d) proses research adalah menguji teori atau menguji hipotesis; (e) menggunakan logika deduktif dan melakukan generalisasi statistik; dan (f) kriteria kualitas penelitian adalah: objektivitas, reliabilitas dan validitas.

Kedua, orientasi filosofis empirisme, atau idealisme, atau konstruktivisme; atau subjektivisme. Proses penelitian ilmiah yang berorientasi pada paham ini, mempunyai ciri: (a) pendekatan penelitiannya kualitatif; (b) analisis datanya berupa deskriptif abstraktif (non statistik) secara sistematis dan alamiah; (c) hakikat realitas hidup adalah jamak, holistik; (d) menggunakan logika induktif, tidak menguji teori atau tidak melakukan uji hipotesis; dan (e) kriteria kualitas penelitiannya adalah: otentisitas dan relevansi dengan fenomena alami, Jadi, sepanjang para peneliti berpegang pada orientasi filosofis yang berbeda, maka selamanya akan terjadi perbedaan pendekatan, sudut pandang dalam memaknai kebenaran hasil penelitian. Hal ini harus dipahami oleh setiap peneliti dalam setiap memahami atau memaknai fenomena hidup selama proses penelitian ilmiah.

Berdasarkan pandangan para ahli dapat disimpulkan tentang karakteristik penelitian kuantitatif sebagai berikut: Pertama, ditinjau dari orientasi filosofis dan teoritis adalah berorientasi pada paham positivisme, rasionalisme, atau objektivisme Sedangkan orientasi teoritisnya adalah berorientasi pada teori-teori yang berparadigma fakta sosial (Ritzer, G. 2002). Diantara ciri teori-teori yang berparadigma fakta sosial adalah: (a) seluruh pola perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor eksternal; (b) kerangka berpikirnya bersifat deduktif verifikatif; (c) menuntut adanya pembuktian teori atau pengujian hipotesis secara statistik; dan (d) mengandalkan pada kebenaran objektivitas, validitas dan reliabilitas. Sejarah awal perkembangan penelitian kuantitatif adalah berkembang di kalangan ilmuwan eksakta atau disiplin ilmu kealaman.

Kedua, dilihat dari segi desain penelitian, adalah: (a) bersifat terinci, luas, dan banyak menggunakan literatur yang terkait dengan tema penelitian; (b) memiliki prosedur research yang rinci, terukur; (c) sejak usulan penelitian (proposal) penelitian kuantitatif sudah memiliki landasan teoritis yang kuat dan jelas; dan (d) proses penelitian terikat kuat dengan desain research yang telah diajukan (tidak berubah), dan isi desain penelitiannya secara ketat akan dipatuhi untuk dilaksanakan dalam proses penelitiannya, misalnya rumusan masalah penelitian tidak boleh berubah selama proses penelitian (Gay, L.R. 1983; Hadi, S. 2004).

Ketiga, dilihat dari rumusan judul penelitian adalah: (a) rumusan judul penelitian kuantitatif tidak pernah berubah (sudah ditetapkan sebelum pelaksanaan penelitian); (b) ekspresif, jelas, padat dan menunjukkan secara jelas permasalahan yang akan diteliti; dan (c) menggambarkan variabel independen atau bebas dan variabel dependen atau tergantung yang akan digali datanya untuk dianalisis (Gay, L.R. 1983; Bungin.B., 2001).

Keempat, dilihat dari rumusan masalah penelitian adalah: (a) rumusan masalah harus jelas sehingga dapat diketahui variabel atau hubungan variabel yang diteliti; (b) dirumuskan dalam bentuk kalimat bertanya, misalnya: Apakah?, Bagaimanakah?; Seberapa besar atau tinggi?; Adakah hubungan atau adakah perbedaan?; (c) rumusan masalah tidak berubah selama proses penelitian, karena menjadi acuan penelitian (Sudijono, A. 1992).

Kelima, dilihat dari segi penetapan variabel penelitian. Variabel adalah atribut seseorang atau objek yang mempunyai variasi antara satu dengan yang lain, atau variabel adalah suatu kuantitas (jumlah) atau sifat karakteristik yang mempunyai nilai numerik atau kategori atau sifat yang akan diteliti (Kartono, K.,1996; Kerlinger, F. 2002). Ciri penelitian kuantitatif dari segi penetapan variabel adalah: penetapan variabel penelitian (variabel independen, dependen, moderator, intervening) harus ditetapkan dulu sebelum memulai penelitian (rancangan penelitian) dan tidak akan berubah selama penelitian berlangsung.

Keenam, dilihat dari deskripsi teori dalam proses penelitian, antara lain: (a) karena penelitian kuantitatif adalah menguji teori maka deskripsi teori harus diuraikan secara sistematis, tidak hanya sekedar pendapat para ahli tetapi penting mengungkap hasil-hasil research terdahulu yang mengkaji fenomena yang sama; (b) deskripsi teori harus menjelaskan secara rinci tentang variabel-variabel yang diteliti dari berbagai referensi ilmiah (Sugiyono, 2007). Langkah praktis yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan teori dalam penelitian kuantitatif adalah: (a) tetapkan nama variabelnya dan berapa jumlah sub variabel yang akan diteliti; (b) cari sumber-sumber ilmiah (Buku ilmiah, Laporan penelitian; Skripsi; Tesis; Disertasi; Jurnal ilmiah) yang membahas variabel yang akan diteliti atau yang berkaitan dengan sub variabel penelitian; (c) cari definisi konsep, baca seluruh uraian dalam sumber ilmiah tersebut yang mengkaji tentang variabel yang akan diteliti; dan (d) deskripsikan secara sistematis dengan bahasa yang benar dengan tetap mencantumkan catatan kaki atau buku yang menjadi rujukannya.

Ketujuh, dilihat dari segi rumusan hipotesis penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kuantitatif wajib atau harus dirumuskan hipotesis penelitian atau hipotesis statistik, karena ciri penelitian kuantitatif adalah menguji teori; (b) bersifat deterministik terkait dengan variabel-variabel yang akan ditelitinya. Hipotesis yang diajukan sebagai upaya penguat bahwa ada keterkaitan antar variabel satu dengan variabel lainnya; dan (c) rumusan hipotesis bisa dalam bentuk hipotesis alternatif (Ha) dan hipotesis nihil (Ho); (c) perumusan hipotesis harus berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir (Bungin, B. 2001). Hipotesis penelitian adalah hipotesis untuk penelitian pada seluruh populasi, sedangkan hipotesis statistik adalah hipotesis penelitian yang bekerja dengan sampel.

Kedelapan, dilihat dari segi sampel penelitian, adalah: (a) menggunakan sampel yang banyak memiliki tingkat representasi tinggi terhadap populasi yang hendak digeneralisasi; (b) semakin banyak jumlah sampel semakin baik hasil penelitian, karena akan semakin banyak data yang diperoleh yang berdistribusi normal; (c) teknik sampling biasanya menggunakan probability sampling meliputi: simple random; proportionate stratified random; disproportionate stratified random; dan area (cluster) random (Sugiyono, 2007); (d) bersifat reduksi, yaitu melakukan penyederhanaan (simplikasi) terhadap kenyataan yang kemudian dilakukan generalisasi.

Kesembilan, dilihat dari metode pengumpulan data penelitian, adalah: (a) proses pengumpulan data menggunakan angket, tes, dokumen, wawancara terstruktur yang terlebih dahulu dilakukan uji instrumen untuk mencari validitas dan reliabilitas instrumen; (b) melakukan intervensi terhadap realitas yang diteliti dengan cara memberikan perlakuan (treatment) baik berupa pemberian angket, kuesioner, skala maupun pengkondisian perilaku; (c) hubungan antara peneliti dengan subjek yang diteliti saat pengumpulan data adalah jauh, tidak akrab (tanpa kontak) sehingga tetap dijamin objektivitas data (Hadi, S., 2004).

Kesepuluh, dilihat dari segi analisis data penelitian, adalah: (a) dilakukan pada akhir proses setelah seluruh pengumpulan data dilakukan; (b) bersifat deduktif serta menggunakan analisis statistik dalam menganalisis gejala yang diteliti; (c) tujuan analisis adalah untuk menguji atau membuktikan hipotesis statistik yang diajukan; dan (d) jenis analisis statistik yang bisa dipakai adalah: statistik deskriptif, statistik inferensial, statistik parametris, dan statistik nonparametris. Penggunaan jenis analisis statistik tersebut adalah tergantung pada jenis data penelitiannya, yaitu: data nominal (nominal data); data ordinal (ordinal data); data interval (interval data); dan data rasio (ratio data) (Nurgiyantoro, B. Dkk. 2002).

Kesebelas, dilihat dari segi rekomendasi hasil penelitian, adalah: (a) rekomendasi teoritis adalah hasil penelitian didasarkan atas kriteria objektivitas, reliabilitas dan validitas instrumen; (b) logika research berdasarkan hipotesa deduktif verifikatif, karena sifatnya adalah menguji teori; dan (c) rekomendasi praktisnya adalah memberikan data empirik yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan karena kebenarannya bersifat etik, segala ukuran kebenaran telah sesuai dengan teori yang dipakainya.

b. Orientasi filosofis dan ciri penelitian kualitatif

Sebagaimana uraian yang telah dikemukakan di muka, bahwa orientasi filosofis dari pendekatan penelitian kualitatif adalah orientasi empirisme, atau idealisme atau konstruktivisme; atau subjektivisme. Menurut Kirk and Miller dalam Moleong (2006), bahwa Istilah penelitian kualitatif (qualitative research) awalnya bersumber pada ‘pengamatan kualitatif’ yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Pengamatan kuantitatif mendasarkan pada penghitungan angka, serta statistik, sedangkan pengamatan kualitatif tidak mendasarkan pada penghitungan angka tetapi mendeskripsikan realita alamiah dengan kalimat atau narasi. Menurut Bogdan and Biklen, dalam Moleong (2006), ada beberapa istilah lain untuk menamakan penelitian kualitatif (qualitative research), yaitu: Inkuiri naturalistik; Ethnografi; Interaksionis simbolik; Ethnometodologi; Studi kasus; Fenomenologi; Penelitian deskriptif naratif, penelitian tindakan (action research).

Beragam pengertian yang telah dikemukakan oleh para ahli tentang penelitian kualitatif, yaitu: (a) Menurut Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya; (b) Menurut David Williams, penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada satu latar alamiah, dengan menggunakan metode alamiah, dan dilakukan oleh peneliti yang tertarik secara alamiah; (c) menurut Denzin dan Lincoln, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan tujuan menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan melibatkan berbagai metode yang ada; dan (d) Menurut Moleong, dia melakukan sintesis tentang definisi penelitian kualitatif dari pendapat para ahli, yaitu penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, persepsi, pandangan, motivasi, tindakan sehari-hari, secara holistik dan dengan metode deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa (naratif) pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Miles and Huberman, 1992; Moleong, L.J., 2006).

Landasan teori (orientasi paradigmatik) penelitian kualitatif adalah teori-teori yang berparadigma definisi sosial (Ritzer, G. 2002), yaitu: Pertama, teori fenomenologi. Beberapa konsep penting teori fenomenologi dalam memahami fenomena individu dan masyarakat antara lain:

1) Teori ini memandang dimensi subjektif atau pengalaman kesadaran sehari-hari individu adalah paling penting sebagai sumber pengetahuan.

2) Teori ini menekankan pada studi tentang kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang tentang fenomena masyarakat.

3) Teori ini memandang bahwa pengalaman subjektif dan interpretasi subjek atau individu adalah menentukan pandangan tentang masyarakatnya. Jadi, internal individu (jiwa atau pikiran) menentukan eksternal (masyarakat dan dunianya).

4) Teori ini menolak pandangan positivisme atau objektitivisme yang memandang dunia serba kuantitatif (eksternal mewarnai atau menentukan internal).

5) Teori ini berasumsi bahwa kesadaran bukanlah dibentuk oleh sesutau hal lainnya (bukan eksternal menentukan internal atau bukan struktur sosial menentukan individu) melainkan dirinya sendiri. Jadi, kapasitas jiwa dan pikiran individu yang mewarnai atau menentukan lingkungan hidupnya.

6) Peneliti dalam pandangan teori ini berusaha untuk memahami arti peristiwa sehari-hari dan kaitannya terhadap individu-individu yang berada dalam situasi tertentu.

7) Penelitian yang menggunakan teori ini lebih menekankan pada pendekatan verstehen, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia, jadi lebih menekankan pada aspek subjektif dari perilaku orang.

Jadi, penelitian kualitatif yang menggunakan teori fenomenologi adalah berusaha untuk masuk ke dalam alam konseptual para subjek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh individu (subjek) itu tentang kehidupan atau peristiwa sehari-hari (Moleong, L.J. 2006). Sebagian para ahli mengatakan bahwa teori fenomenologi ini merupakan teori utama yang sering dijadikan sebagai theoritical orientation dalam qualitative research, sedangkan teori interaksionis simbolik, teori budaya, ethnometodologi sering diposisikan sebagai penunjang. Namun perlu diperhatikan bahwa memposisikan suatu teori tertentu sebagai theoritical orientation utama ditentukan oleh karakteristik dari fenomena sosial budaya yang ditelitinya.

Kedua, teori Interaksionis simbolik. Para ahli teoritisi ilmu sosial menyimpulkan beberapa substansi pokok dari asumsi teori interaksionisme simbolik dalam memahami individu dan masyarakat, antara lain:

1) Manusia tidak seperti binatang, manusia dibekali dengan segala kemampuan berfikir dan merenung tentang fenomena kehidupan yang dihadapi.

2) Kemampuan berpikir manusia itu dibentuk oleh proses interaksi sosial dalam proses-proses kehidupan kelompok.

3) Dalam interaksi sosial orang belajar tentang makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yakni kemampuan berpikir.

4) Makna dan simbol memungkinkan orang melanjutkan tindakan (action) dan interaksi dalam proses-proses sosial di masyarakat.

5) Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi sosial berdasarkan interpretasi atau penafsiran mereka atas situasi tertentu atau fenomena hidup yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari.

6) Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena potensi jiwa dan pikirannya dan kemampuan mereka berinteraksi dengan dirinya sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya untuk dilakukan.

7) Pola-pola tindakan dan interaksi yang jalin menjalin itu membentuk kelompok dan masyarakat (Ritzer, 2001; Poloma, 1997). Jadi, aspek ‘diri’, ‘jiwa’ dan ‘pikiran’ individu sangat menentukan proses interaksi sosial dan memaknai segala tindakan manusia disetiap aktifitasnya di masyarakat.

Perlu dipahami bahwa pada satu sisi ‘Interaksionis simbolik’ merupakan salah satu dari strategi penelitian kualitatif yang berparadigma pospositivis (Muhadjir, N. 1990; Bakri, eds., 2002), sedangkan pada sisi lain interaksionis simbolik merupakan salah satu teori sosial yang berparadigma definisi sosial (Ritzer and Goodman, 2004). Baik interaksionis simbolik sebagai salah satu strategi penelitian kualitatif maupun sebagai salah satu teori ilmu sosial, kedua-duanya sama-sama menghendaki pentingnya memahami dimensi subjektif, personal atau alam pikiran dan jiwa serta pandangan individu untuk memahami fenomena sosial di masyarakat.

Berdasarkan pandangan para ahli dapat disimpulkan tentang karakteristik penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: Pertama, ditinjau dari orientasi filosofis dan teoritis adalah berorientasi pada paham konstruktivisme, interpretif, dan subjektivisme. Sedangkan orientasi teoritisnya adalah berorientasi pada teori-teori yang berparadigma definisi sosial (Ritzer, G. 2002). Diantara ciri teori-teori yang berparadigma definisi sosial adalah: (a) seluruh pola perilaku manusia dipengaruhi oleh faktor internal individu, yaitu pikiran, jiwa, motivasi, pandangan hidupnya; (b) kerangka berpikirnya bersifat induktif abstraktif; (c) realitas sosial budaya adalah suatu kondisi yang cair dan mudah berubah tergantung pikiran dan jiwa manusia yang berinteraksi dalam memaknainya. Fenomena sosial bersifat multimakna; (d) tidak perlu adanya pengujian teori, tetapi justru menemukan teori atau proposisi; (e) tindakan manusialah yang menentukan struktur sosial-budaya, bukan struktur sosial-budaya yang menentukan tindakan manusia; (f) mengandalkan pada kebenaran otentisitas, keabsahan data. Realitas dianggap nyata sejauh para individu bersepakat bahwa hal itu memang nyata (Alvesson, M. and Skoldberg. 2000; Mulyana, D. 2002).

Kedua, dilihat dari segi desain penelitian, adalah: (a) bersifat longgar, umum, fleksibel, berkembang dan muncul dalam proses penelitian; dan (b) usulan penelitian (proposal) penelitian kualitatif sifatnya sementara; proses penyusunan desain penelitian akan mudah berubah disesuaikan dengan kenyataan di lapangan, hal ini karena: Realitas sosial bersifat jamak; Fenomena sosial bisa berubah-ubah ketika terjadi interaksi antara peneliti dengan subjeknya; Sistem nilai dan norma yang berkembang bersifat kompleks dan sulit diramalkan sebelumnya (Stainback, S. And William Stainback. 1988; Moleong, L.J. 2006).

Ketiga, dilihat dari rumusan judul penelitian adalah: (a) rumusan judul penelitian kualitatif bisa berubah-ubah, tergantung fenomena yang terjadi di lapangan, artinya rumusan judul penelitian pada awal pengumpulan data bisa saja berubah ketika peneliti telah terlibat lama dalam proses pengumpulan dan analisis data di lapangan; (b) dirumuskan dengan bahasa yang baik, jelas dan menunjukkan fokus penelitiannya; dan (c) jelas persoalan dan objek kajiannya; kapan dan dimana situs penelitiannya (Muhadjir, N. 1990; Silverman, D. 1993).

Keempat, dilihat dari rumusan masalah penelitian adalah: (a) rumusan masalah penelitian kualitatif bisa berubah-ubah dengan memperhatikan realitas objek kajian di lapangan; (b) rumusan masalah bisa dalam bentuk pernyataan suatu fenomena dan pertanyaan, misalnya bagaimana dan mengapa?; (c) fungsi rumusan masalah hanya sekedar sebagai arahan, pembimbing atau acuan pada proses penelitian untuk menemukan teori; (d) perumusan masalah penelitian memperhatikan prinsip keterkaitan dengan kriteria inklusi-eksklusi; berkaitan dengan fokus penelitian; berkaitan dengan hasil penelaahan kepustakaan; dan dirumuskan dengan bahasa yang bagus (Stainback, S. And William Stainback. 1988).

Kelima, dilihat dari segi metode pengumpulan data, adalah lebih menggunakan strategi multi metode, artinya data yang diperoleh dalam penelitian kualitatif dari berbagai cara, yaitu melalui metode wawancara takterstruktur; metode observasi partisipatif (pasif, moderat, aktif dan lengkap); dan studi dokumenter (Seidman, E. 1991). Disamping itu proses pengumpulan data dalam penelitian kualitatif tidak cukup sekali, tetapi terus berlangsung sepanjang proses penelitian. Penelitian kualitatif menggunakan kombinasi metode-metode tersebut sebagai strategi pengumpulan data, dan lebih menekankan pada metode observasi partisipasi. Oleh karena itu peneliti kualitatif harus memahami betul teknik-teknik observasi secara baik. Menurut Spradley (1980) ada tiga tahapan observasi yang harus dilakukan yaitu: (a) observasi deskriptif; (b) observasi terfokus; dan (c) observasi terseleksi. Oleh karena itu peneliti kualitatif dalam proses pengumpulan data harus melalui proses perencanaan yang matang, memulai pengumpulan data dengan multi metode, pengumpulan data dasar, pengumpulan data penutup, dan melengkapi data.

Keenam, dilihat dari deskripsi teori dalam proses penelitian, yaitu: (a) kajian teori atau kajian literatur yang digunakan sifatnya sementara, tidak dijadikan sebagai pegangan utama, karena dalam penelitian kualitatif adalah berusaha untuk mengungkap latar alamiah dari suatu objek penelitian; dan (b) Kajian teori hanya sekedar sebagai pedoman awal agar tidak terlalu gelap (buta) dalam mengawali kajian fenomena sosial-budaya tertentu. Oleh karena itu kajian teori dalam penelitian kualitatif bukan untuk merumuskan hipotesis penelitian. Jadi, menurut para ahli, dalam penelitian kualitatif ‘tidak dirumuskan hipotesis, karena justru akan menemukan hipotesis’ (Bungin, B. 2003; Sugiyono, 2007).

Ketujuh, dilihat dari segi peranan peneliti dalam proses penelitian adalah: (a) peneliti sebagai pengamat penuh, peneliti menyatu dengan objek yang diteliti dalam waktu yang relatif lama, peneliti sendiri sebagai instrumen penelitian; (b) peneliti ikut serta dalam kegiatan-kegiatan individu atau kelompok yang diamati sesuai dengan fokus kajiannya; (c) peneliti juga melakukan wawancara mendalam (takterstruktur) berkaitan dengan beragam kegiatan individu atau kelompok yang sesuai dengan fokus kajian; (d) hubungan antara peneliti dengan objek penelitian adalah empati, akrab, berkedudukan sama, dan menyatu dalam pola kehidupan sehari-hari (Spradley,1980; Muhadjir, N. 1990; Moleong, L.J., 2006).

Kedelapan, dilihat dari segi sampel penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi atau fenomena sosial budaya tertentu (Sugiyono, 2007); (b) tidak menggunakan sampel besar, melainkan sampel kecil karena tidak untuk menggeneralisasi suatu populasi; (b) sampel penelitiannya tidak representatif (apabila penelitian kuantitatif harus representatif); (c) teknik sampling biasanya menggunakan non probability sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Non probability sampling yang sering dipakai adalah: purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan atau tujuan tertentu) dan snowball sampling, yaitu teknik pengambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit, lama-lama menjadi besar (bagaikan bola salju). Antara purposive sampling dengan snowball sampling yang paling sering dipakai adalah snowball sampling, (d) penentuan sampel dilakukan saat peneliti mulai memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung (emergent sampling design) (Spradley,1980).

Kesembilan, dilihat dari hubungan antar variabel penelitian, adalah: (a) dalam penelitian kuantitatif, hubungan antar variabel bersifat sebab dan akibat (hubungan kausal), sehingga dalam penelitian kuantitatif ada variabel independen (bebas) dan dependen (terikat), kemudian dicari hubungan atau pengaruh antar variabel tersebut dengan menggunakan analisis statistik (Wibisono, Y. 2005; Sudijono, A. 2006), hal ini tidak berlaku dalam penelitian kualitatif; (b) dalam penelitian kualitatif, melihat hubungan antar variabel tidak bersifat kausal (sebab akibat) melainkan bersifat interaktif atau saling mempengaruhi, sehingga tidak diketahui mana variabel independen (bebas) dan variabel dependennya (terikat) (Muhadjir, N., 1990; Moleong, L.J., 2006). Jadi, dalam peneliian kualitatif tidak ada variabel independen (bebas) dan variabel dependen (terikat).

Kesepuluh, dilihat dari segi analisis data penelitian, adalah: (a) jenis datanya berupa uraian kalimat (deskriptif), dokumen pribadi, catatan lapangan hasil observasi, catatan ucapan dari hasil wawancara mendalam, dan beragam tindakan responden atau objek penelitian, serta dokumen-dokumen lainnya; (b) analisis data penelitian bersifat interaktif, siklus dan induktif; (c) proses analisis data berlangsung secara terus menerus, dari awal penelitian hingga akhir penelitian. Dan kapan analisis data dianggap selesai, yaitu setelah proses pengumpulan data dan analisis data sudah tidak ada yang dianggap baru (mengalami titik jenuh); dan (d) hasil analisis data adalah mencari pola atau menemukan model, proposisi atau teori (Strauss, A.C.J. 1990. Silverman, D. 1993). Berbeda dengan hasil analisis data pada penelitian kuantitatif, yaitu menguji teori atau menguji hipotesis penelitian.

Menurut Aminuddin dalam Bakri (ed) (2002), bahwa pendekatan penelitian kualitatif apabila ditinjau dari paradigma yang digunakan dan dari segi tujuan yang hendak dicapai dapat dibedakan menjadi sembilan macam strategi penelitian kualitatif yang masing-masing terbagi kedalam tiga paradigma, antara lain:

1) Orientasi paradigma pospositivis. Menurut pandangan pospositivis, bahwa realitas sosial dipandang sebagai: (a) bersifat ganda; (b) dapat di sistematisasikan; (c) mengemban ciri, konsepsi, dan hubungan secara asosiatif; (d) dipahami secara alamiah, kontekstual, holistik; dan (e) tujuan penelitiannya bersifat: eksploratif, eksplanatif, menghasilkan formasi teori secara substantif dan bersifat praktis (punya fungsi terapan). Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam orientasi paradigma pospositivis antara lain: (a) penelitian studi kasus; (b) penelitian etnografi; (c) penelitian interaksionis simbolik; (d) penelitian naturalistic-inquiry; dan (e) penelitian grounded theory.

2) Orientasi paradigma konstruktivis. Menurut pandangan konstruktivis, bahwa realitas sosial dipandang sebagai: (a) gejala yang sifatnya tidak tetap dan ada hubungan erat dengan kondisi masa lalu-kini dan akan datang; (b) realitas sosial hanya bisa dipahami berdasarkan konstruksi kesadaran dan dunia pengalaman peneliti dalam hubungannya dengan kehidupan kemanusiaan sehari-hari; (c) pemahaman atas suatu realitas sosial bersifat relatif dan dinamik; (d) tanggapan dalam dunia pengalaman seseorang tidak bersifat tertutup melainkan diarahkan oleh kesadaran atas realitas luar, bersifat terbuka dan akumulatif; (e) tanggapan tersebut bermakna semata-mata apabila peneliti telah memiliki skemata atau stock of knowledge, daya asimilasi, daya akomodasi, dan kemampuan merekonstruksi pemahaman secara logis; dan (f) tujuan penelitiannya bukan untuk memecahkan masalah atau membentuk teori tetapi membangun dan mengartikulasikan pemahaman secara akumulatif. Jadi, kajian tentang sesuatu bukan hanya ada dalam proses induksi-analitik atau realisme-analitik melainkan dalam proses refleksi-hermeneutis. Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam orientasi paradigma konstruktivis antara lain: (a) penelitian etnometodologi; (b) penelitian etnografi-teks; dan (c) penelitian tindakan (action research).

3) Orientasi paradigma posmodernis. Menurut posmodernis adalah: (a) pemahaman tentang realitas sosial berada dalam hubungan: teks atau realitas → konstruksi atau dekonstruksi → pemahaman. Sedangkan pandangan pospositivis dan konstruktivis, pemahaman tentang realitas sosial berada dalam hubungan: realitas → pengalaman → penggarapan → pemaknaan → pemahaman; (b) pemahaman ada dalam kondisi dekonstruksi. Pemahaman terhadap realitas didudukkan sebagai jembatan menuju empowerment; dan (c) tujuan penelitian bukan hanya untuk pemahaman itu sendiri melainkan untuk pemberdayaan dan kebermaknaan kehidupan kemanusiaan sehari-hari. Strategi penelitian kualitatif yang termasuk dalam paradigma posmodernis adalah penelitian pluralisme inferensial, yaitu penelitian yang digunakan untuk menemukan pemahaman detil fakta secara intertekstual dan hubungannya dengan empowerment. Sedangkan sumber data penelitian pluralisme inferensial adalah pengalaman-pengalaman simbolik dan wacana keseharian.

Kemudian kapan atau fenomena sosial yang bagaimana sebaiknya penelitian kualitatif itu dilakukan?. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan para ahli, paling tidak terdapat sembilan aspek atau kondisi fenomena sosial budaya yang cocok untuk dilakukan penelitian kualitatif antara lain:

1) Apabila tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian adalah ingin mengkaji pandangan, motivasi, dan makna yang terkandung dibalik praktik-praktik sosial budaya yang dilakukan oleh individu atau anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pendekatan kuantitatif relatif sulit apabila ingin menyelami pandangan atau makna yang tersembunyi dibalik realitas atau aktivitas sehari-hari seseorang di mayarakat.

2) Apabila pokok permasalahan yang akan dikaji masih belum jelas atau masih bersifat umum, dan apabila peneliti ingin melakukan penjelajahan dengan grant tour question terhadap fenomena sosial budaya yang akan dikaji. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang pokok permasalahan penelitian sudah sangat jelas dan rinci.

3) Apabila penelitian itu berusaha untuk memahami makna di balik data yang tampak. Fenomena sosial budaya sering sulit dipahami secara mendalam apabila hanya berdasarkan angket dalam proses penggalian data sebab apa yang dipilih dalam angket belum tentu hati atau pikirannya sama, karena sering tindakan dan ucapan orang itu mempunyai makna ganda. Realitas tersebut membuktikan pentingnya pendekatan kualitatif dalam memahami makna dibalik data yang tampak.

4) Apabila penelitian itu berusaha untuk menjelaskan suatu fenomena atau gejala sosia budaya secara lebih spesifik tetapi mendalam atau integratif, menyeluruh dan lebih detil. Berbeda dengan penelitian kuantitatif yang lebih menekankan pada penjelasan yang bersifat makro, deduktif dan tidak fokus pada persoalan yang lebih spesifik.

5) Apabila penelitian itu untuk memahami pola dan proses interaksi sosial-budaya. Pola dan proses Interaksi sosial-budaya yang kompleks dan dinamik akan lebih baik dan lengkap untuk dijelaskan kalau peneliti melakukan penelitian dengan metode kualitatif dengan cara melakukan observasi partisipatif dan wawancara mendalam dalam proses pengumpulan data. Jadi, penelitian kuantitatif sangat sulit untuk menyelami pola-pola interaksi sosial-budaya antar individu atau kelompok yang berlangsung sangat dinamik dan kompleks.

6) Apabila proses analisis penelitiannya berpola siklus, berulang-ulang dan berlangsung relatif lama untuk lebih memahami realitas sosial-budaya secara holistik dan mendalam. Disamping itu hubungan antara peneliti dengan objek penelitian bersifat akrab, menyatu dan saling mengisi.

7) Apabila penelitian itu untuk menemukan teori atau mengembangkan teori. Metode kualitatif paling cocok digunakan untuk mengembangkan teori yang dibangun melalui data lapangan. Teori yang demikian dibangun melalui grounded research. Berbeda dengan pendekatan kuantitatif yaitu menguji teori atau membuktikan hipotesis.

8) Apabila penelitian itu untuk memastikan kebenaran data. Dengan metode kualitatif, melalui teknik pengumpulan data secara triangulasi atau gabungan multi data dan berlangsung secara berulang-ulang sampai mencapai titik jenuh, maka kualitas kebenaran data akan lebih dijamin daripada hanya mendasarkan pada angket seperti dalam penelitian kuantitatif.

9) Apabila penelitian itu akan mengkaji sejarah perkembangan suatu objek penelitian. Dengan karakteristik proses pengumpulan sumber data dalam penelitian sejarah melalui kritik intern dan kritik ekstern maka terasa sangat sulit penelitian sejarah dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Jadi, uraian tersebut di atas tentang karakteristik penelitian kualitatif memberikan pemahaman bahwa pemilihan pendekatan kualitatif dalam proses penelitian ilmiah akan cocok diterapkan dalam studi atau kajian ilmu-ilmu pengetahuan sosial budaya atau humaniora, yang ingin lebih jauh memahami beragam fenomena psikhologi, sosial dan kebudayaan yang dinamik, kompleks dan holistik. Sedangkan untuk studi ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural sciences) akan lebih cocok menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif.

c. Orientasi filosofis dan ciri penelitian gabungan

Mengkaji fenomena sosial-budaya pada hakikatnya dapat dicermati dari dimensi objektivis dan dimensi subjektivis. Dimensi objektivis berorientasi pada aliran positivisme atau aliran rasionalisme (pendekatan penelitian kuantitatif), sedangkan dimensi subjektivis berorientasi pada aliran Idealisme, konstruktivisme, atau interpretif (pendekatan penelitian kualitatif) (Burrell and Morgen, 1994; Praja, J.S., 2003). Sedangkan perbedaan pandangan pendekatan objektivisme (pendekatan kuantitatif) dan subjektivisme (pendekatan kualitatif) dalam memahami fenomena sosial-budaya telah diuraikan di atas.

Berdasarkan uraian tentang karakteristik pendekatan kuantitatif dan kualitatif tersebut di atas memberikan kepahaman bahwa: (a) dalam melakukan analisis terhadap fenomena sosial-budaya, seorang peneliti harus mengkaji karakteristik fenomena sosial-budayanya, untuk kemudian dicarikan keserasian dengan ciri atau karakteristik orientasi teorinya dan pendekatan research-nya; (b) pada dasarnya antara paradigma satu dengan paradigma yang lain (paradigma objektivis dan paradigma subjektivis) tidak dalam posisi ‘ada yang paling benar, atau paling utama dari yang lain’, kedua paradigma objektivis dan subjektivis akan tetap atau ‘proporsional’ dipakai apabila situasi dan kondisi realitas sosial-budayanya memang selaras dengan karakteristik paradigma tersebut. Jadi, pemilihan perspektif positivisme (objektivis) maupun idealisme (subjektivis) dalam proses penelitian, akan membawa konsekwensi pendekatan dan strategi penelitian yang berbeda.

Pendekatan objektivis (paradigma positivis atau konvensional) sering disebut dengan perspektif etik (dari luar) dan pendekatan penelitian yang dipakai tentunya adalah Quantitative research dengan menggunakan logico deductive verifikatif. Sedangkan pendekatan subjektivis (konstruktivis) sering disebut dengan perspektif emik (dari dalam) dan pendekatan penelitiannya adalah Qualitative research dengan menggunakan logico inductive abstractif yang bertujuan untuk meneliti makna sosial kultural dari ‘dalam’ dan analisisnya cenderung bersifat ideografik (Chadwick, 1984; Giddens, 1987).

Dalam perspektif teoritis, banyak teoritikus sosial yang menganjurkan pentingnya para peneliti sosial budaya untuk menggunakan teori integratif dalam melakukan analisis fenomena sosial-budaya. Beberapa pandangan para teoritikus sosial yang mendorong perlunya melakukan analisis sosial dengan menggunakan teori integrasi mikro-makro antara lain: (a) Helmut Wanger dalam karyanya ‘Displacement of Scope: A Problem of the Relationship betweem Small Scale and Large Scale Siciological Theory’ (1964), yang membahas pentingnya hubungan antara teori sosial berskala mikro (induktif) dan teori berskala makro (deduktif); (b) Waller dalam karyanya ‘Overview of Contemporary Sociological Theori’, dalam Sociological Theory (1969), membahas tentang ‘Kontinun (rangkaian kesatuan) antara mikro-makro’; dan (c) Eisenstadt and Helle. H.J. dalam bukunya Macro Sosiological Theory: Perspectives on Sociological Theory (1985a) menyimpulkan bahwa ‘Konfrontasi antara teori makro dan mikro mestinya sudah berlalu’ dan perlunya hubungan timbal balik antara teori mikro makro (Alexander, 1987) dalam proses analisis sosial.

Beberapa pandangan para teoritisi tersebut dapat dikatakan sebagai embrio tentang pandangan pentingnya mengintegrasikan teori-teori mikro atau pendekatan subjektivis dengan teori-teori makro atau pendekatan objektivis dalam melakukan analisis realitas sosial budaya. Gerakan atau perkembangan perlunya analisis sosial budaya dengan pola integrasi mikro-makro atau integrasi agen-struktur begitu sangat popular di tahun 1980-an dan 1990-an dan terus berkembang sampai sekarang (Ritzer dan Godman, 2003).

Pandangan para teoritikus sosial modern juga telah menyinggung perlunya pendekatan integratif dalam melakukan analisis sosial budaya, diantaranya adalah: Pertama, Emille Durkheim, bahwa pembagian fakta sosial oleh Durkheim atas barang sesuatu yang bersifat material (norma hukum dan arsitektur) dan non material (kesadaran kolektif dan arus sosial) dapat dianggap paralel dengan kategori realitas sosial atas tingkatan makro-objektif dan makro-subjektif dalam pandangan Ritzer. Sayangnya Durkheim tidak menjelaskan kaitan secara jelas antara unit-unit realitas sosial makroskopik dengan mikroskopik. Oleh para ahli konsep Durkheim tentang pendekatan terpadu itu belum lengkap, dan penekanannya masih terarah kepada fenomena makroskopik (Ritzer, 2002).

Kedua, Karl Marx, bahwa pendekatan terpadu Marx lebih memadai dari pada Durkheim, tetapi Marx tetap memberikan tekanan yang lebih besar kepada struktur makro. Marx mulai dengan konsep tentang aktor yang aktif, kreatif dan voluntaristis. Marx, yakin individu dibekali dengan kemampuan berpikir aktif, kreatif yang berperan dalam mengembangkan masyarakat dalam proses historis. Hal ini berarti proses-proses mikro-objektif menimbulkan struktur masyarakat (makro objektif), yang berarti Marx juga mengakui adanya hubungan dialektika antara realitas sosial budaya tingkat mikro dan makro, namun oleh para ahli, bahwa model integrasi mikro-makro Marx masih memberatkan pada struktur makro yang bersifat materi menentukan struktur mikro yang bersifat non materi (Johnson, D.P., 1986).

Ketiga, Max Weber, bahwa perhatian Weber terhadap faktor makro-objektif ditunjukkan pada struktur birokrasi. Sedangkan faktor makro-subjektif adalah perhatiannya pada rasionalisasi nilai-norma. Weber memperhatikan pada realitas sosial budaya tingkat makro (contoh, konsep ‘kharisma’ yang melembaga; konsep ‘birokrasi’ yang terstruktur), tetapi Weber juga punya perhatian yang sangat besar pada tingkat mikro (contoh, pandangannya bahwa “manusia memiliki pikiran dan pemikirannya itu menciptakan perbedaan atau deferensial). Menurut Weber, semua tindakan individu ditentukan oleh faktor internal (subjektif) yaitu jiwa dan pikiran rasional manusia itu sendiri bukan ditentukan eksternal/ lingkungan (objektif). Ada empat macam tindakan individu menurut Weber, yaitu: Tindakan rasional instrumental; Tindakan irasioal instrumental; Tindakan afektif; dan Tindakan tradisional. Dari keempat macam tindakan tersebut tindakan rasional instrumental adalah paling kunci. Jadi, pandangan Weber banyak membantu untuk kepentingan analisa terpadu mikro-makro, tetapi menurut para ahli, Weber lebih menekankan aspek mikro (pikiran rasional subjek/ individu) yang menentukan aspek makro, bukan aspek makro menentukan mikro (Wrong, D. (ed), 2003).

Keempat, Talcott Parsons, bahwa Meskipun Parsons memusatkan perhatian pada fakta sosial, dia juga memperhatikan hubungan antara berbagai tingkat realitas sosial. Konsep tentang empat sistem tindakan (yaitu: Sistem kultural; Sosial; Kepribadian; dan Biologis) yang diajukan oleh Parsons adalah bukti perhatiannya tentang berbagai tingkat realitas sosial. Sistem tindakan kultural Parsens adalah paralel dengan konsep makro subjektif-makro objektif, dan sebagian konsep kepribadian Parsens juga paralel dengan tingkat mikro subjektif (Ritzer, 2002). Meskipun Parsons juga menyinggung suatu pemikiran teoritis yang terpadu, namun titik berat argumentasinya masih terletak pada sisi struktur makro, yakni pada pengaruh sistem sosial dan sistem kultural terhadap kepribadian (aspek mikro). Individu terdeterminasi oleh faktor eksternal sebagai akibat internalisasi sistem nilai masyarakat. Menurut Parsons, kemampuan individu (sistem kepribadian atau sistem mikro) untuk mengubah masyarakat (sistem makro) adalah kecil sekali atau hampir tidak ada, yang terjadi adalah sebaliknya (Ritzer, 2002).

Kelima, Ritzer dalam bukunya ‘Sociology: A Multiple Paradigm Science’ (1980), mengemukakan betapa pentingnya peneliti sosial budaya menggunakan pendekatan integrasi teori atau paradigma secara terpadu dalam melakukan analisis sosial. Sedangkan pokok-pokok pikiran Ritzer antara lain: (1) paradigma terpadu bukan dimaksudkan sebagai pengganti paradigma objektivis atau subjektivis yang sudah ada. Paradigma yang ada akan tetap bermakna bagi analisis sosial budaya selama tidak menganggap satu paradigma tertentu itu dapat menjelaskan semua fenomena sosial budaya secara komprehensif; (2) bahwa inti paradigma terpadu terletak pada hubungan antar keempoat tingkat realitas sosial, yaitu: (a) makro-objektif, contohnya birokrasi, norma hukum, bahasa; (b) makro-subjektif, contohnya nilai-nilai, norma dan kultur; (c) mikro-objektif, contohnya berbagai bentuk interaksi sosial seperti: kerjasama, konflik dan pertukaran antar individu; (d) mikro-subjektif, contohnya proses berpikir, motivasi, pandangan, perasaan individu dan konstruksi sosial realitas oleh individu. Jadi, yang penting dalam paradigma terpadu adalah ‘keempat tingkat sosial tersebut harus diperlakukan secara integratif, artinya setiap persoalan khusus yang dikaji harus diselidiki dari empat tingkatan sosial tersebut secara terpadu’; (3) realitas sosial dalam kenyataan yang sebenarnya sedemikian kompleks, terus menerus berubah, sehingga diperlukan analisis terpadu dari berbagai aspek tersebut; (4) paradigma terpadu harus diperbandingkan berdasarkan perjalanan waktu atau antara berbagai masyarakat.

Sifat saling melengkapi dari pendekatan terpadu ini memungkinkan untuk pengumpulan data dengan berbagai metode (wawancara, observasi, kuesioner, dokumentasi, eksperimen, dan sebagainya) dalam penelitian ilmiah; dan (5) paradigma terpadu harus mengambil manfaat dari logika dialektik atau saling berhubungan. Diantara ciri logika dialektik adalah: (a) memandang manusia sebagai pencipta sebagian besar struktur sosial dan struktur sosial itu pada gilirannya membatasi dan memaksa si-aktor, (b) mempunyai pandangan yang sangat jelas tentang hubungan antara realitas sosial makroskopik dan mikroskopik, (c) tidak menitik beratkan pada salah satu tingkat realitas sosial tertentu (semua tingkat realitas sosial dipandang berada dalam hubungan yang bersifat interaktif), (d) dimulai dengan asumsi epistemologi bahwa ‘di dalam alam yang nyata’, segala sesuatu saling berkaitan secara terus menerus untuk selama-lamanya, dan (e) berpikir dialektik, selain menuntun untuk mencari hubungan berbagai tingkat realitas sosial, juga dapat membiasakan kita kepada hubungan kontradiksi (Ritzer dan Goodman, 2003).

Keenam, Anthony Giddens, menurut Turner, B. (2000), bahwa salah satu teori yang paling terkenal dewasa ini, yang menganjurkan pentingnya integrasi mikro-makro atau subjektif-objektif atau integrasi agen-struktur dalam melakukan analisis fenomena sosial budaya adalah Teori Strukturasi oleh A. Giddens. Giddens dalam bukunya The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration (1984) mengatakan bahwa: (1) setiap riset dalam ilmu sosial atau siret sejarah seharusnya selalu mengintegrasikan antara tindakan (agen) dengan struktur. Tetapi dalam hal ini bukan berarti bahwa struktur (makro) ‘menentukan’ agen (mikro) atau sebaliknya; (2) bidang mendasar studi ilmu sosial, menurut teori strukturasi, bukanlah pengalaman aktor individual (agen) atau bentuk-bentuk kesatuan sosial (struktur) tertentu, melainkan praktik (interaksi) sosial agen-struktur yang berulang-ulang, yang diatur melintasi waktu dan ruang (time and space); (3) praktik sosial atau aktivitas sosial tidak dihasilkan melalui kesadaran individu tentang realitas (seperti pandangan teori-teori paradigma subjektivis), juga bukan diciptakan oleh struktur sosial (seperti pandangan teori-teori paradigma objektivis), tetapi melalui integrasi agen-struktur yang terus berinteraksi melintasi dimensi ruang dan waktu. Jadi, teori strukturasi menjelaskan masalah ‘agen-struktur secara historis, prosessual dan dinamis’. Strukturasi meliputi hubungan dialektika antara agen dan struktur; struktur dan keagenan adalah dualitas (bukan dualisme), tindakan agen dan struktur saling mengandaikan. Struktur tidak akan ada tanpa keagenan (peran individu) dan demikian juga sebaliknya. (Giddens, 1995). Jadi, dalam pandangan teori strukturasi Giddens, setiap penelitian yang hendak mengkaji fenomena sosial tidak akan bisa menghasilkan analisis data secara baik apabila tidak berusaha untuk mengintegrasikan agen-struktur.

Permasalahan yang muncul adalah, apakah metode kuantitatif dan metode kualitatif dapat digabungkan dalam proses penelitian?. Beberapa argumentasi berikut ini cukup bisa dijadikan alasan pentingnya melakukan penelitian sosial dengan menggunakan pendekatan integratif (kuantitatif-kualitatif), antara lain:

1) Pandangan Ritzer tentang integrasi mikro-makro dan pandangan Giddens tentang teori strukturasi di atas merupakan bukti teoritis pentingnya penggunakan pendekatan integratif kuantitatif-kualitatif dalam penelitian sosial-budaya (Giddens, 1995; Ritzer, 2002).

2) Setiap metode penelitian kuantitatif dan kualitatif, masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan. Keduanya tidak perlu dipertentangkan karena keduanya justru saling melengkapi (complement each ather) dalam memahami fenomena sosial-budaya. Kekuatan dan kelemahan yang dimiliki masing-masing pendekatan penelitian itulah yang menyebabkan perlunya pendekatan memadukan kuantitatif-kualitatif dalam proses penelitian sosial-budaya (Brannen (ed), 2002)

3) Kuantitatif dan kualitatif bisa digunakan bersama atau digabungkan dengan syarat: (a) meneliti pada objek yang sama dengan mempunyai dua tujuan yang hendak diungkapnya, misalnya kualitatif untuk menemukan hipotesis sedangkan kuantitatif untuk menguji hipotesis (Stainback, S., 1988). Digunakan secara bergantian, misalnya pada tahap pertama menggunakan metode kualitatif, sehingga ditemukan hipotesis, selanjutnya hipotesis tersebut diuji dengan metode kuantitatif (Sugiyono, 2007), atau sebaliknya, yaitu penelitian kuantitatif untuk menguji teori, kemudian hasil pengujian teori tersebut didalami lebih jauh dan integral dengan pendekatan kualitatif.

4) Penggabungan bisa dilakukan pada aspek metode pengumpulan datanya, yaitu dalam penelitian kuantitatif metode utama dalam pengumpulan datanya adalah menggunakan angket, kemudian dari beberapa item pada angket tersebut didalami lagi dengan menggunakan metode observasi dan wawancara takterstruktur (ciri metode pengumpulan data kualitatif). Jadi menggunakan triangulasi dalam pengumpulan data.

5) Menurut Bryman dalam Brannen, J. (2002), ada beberapa alasan bahwa penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan yaitu: (a) hasil-hasil penelitian kuantitatif dapat dicek pada penelitian kualitatif, tujuannya adalah untuk memperkuat kesahihan temuan; (b) penelitian kualitatif dapat membantu memberikan informasi dasar tentang konteks dan subjek, hal ini sangat penting bagi penelitian kuantitatif yaitu sebagai sumber hipotesis dan membantu dalam membuat konstruksi skala; (c) penelitian kuantitatif dan kualitatif dapat digabungkan untuk memberikan gambaran hasil research yang lebih komprehensif, karena keduanya saling mengisi kelemahan masing-masing; (d) penelitian kuantitatif biasanya dikemudikan oleh perhatian peneliti, sementara penelitian kualitatif mengambil perspektif subjek sebagai titik tolak. Penekanan-penekanan ini dapat dihadirkan bersama-sama dalam satu studi; (e) penelitian kualitatif dapat membantu interpretasi hubungan antara ubahan-ubahan, sebab penelitian kuantitatif biasanya mudah untuk menentukan hubungan antar ubahan (variabel) tetapi sering lemah dalam memberi alasan dari hubungan antar peubah tersebut, hal ini akan dibantu dengan penelitian kualitatif; (f) penggabungan akan mampu memberikan penjelasan tentang hubungan antara tingkat makro (kuantitatif) dan mikro (kualitatif), karena kedua hal ini selalu melekat pada fenomena sosial.

6) Ada permasalahan dalam studi ilmu sosial budaya (fenomena sosial budaya) yang banyak terpecahkan dengan penerapan analisis statisitik (Quantitative research), akan tetapi ada juga permasalahan sosial budaya (fenomena sosial budaya) lain yang sulit dijelaskan dengan menggunakan analisis statistik saja, sehingga mengharuskan peneliti untuk menggunakan metode penelitian kualitatif (Qualitative research), khususnya apabila ingin menyelami kedalaman makna, pandangan, nilai-nilai yang dianut para agen praktik sosial yang terentang dalam ruang dan waktu (space and time) yang begitu sangat dinamik dan kompleks (Alvesson and Skoklberg, 2000; Creswell, 2005).

7) Pengumpulan data penelitian dengan teknik angket (pendekatan kuantitatif) seringkali belum mampu menjamah dimensi-dimensi psikologis yang unik dan makna terdalam (menukik kedalam pikiran aktor), oleh karena itu dipandang perlu untuk melibatkan observasi partisipatif dan wawancara takterstruktur, yang umumnya dikenal dalam metode kualitatif. Oleh karena itu seorang peneliti yang mengharapkan dapat memperoleh pemahaman tentang fenomena sosial yang dikaji secara lebih komprehensif salah satu jalan adalah menggunakan pendekatan perpaduan kuantitatif-kualitatif.

Meskipun ada sebagian ahli menolak adanya metode gabungan kuantitatif dan kualitatif dalam proses penelitian, misalnya Cicourel, tetapi banyak pula teoritikus yang mendukung perlunya pendekatan integrasi dalam proses analisis penelitian sosial, antara lain: (1) Denzin dengan istilah ‘Triangulati Methods’; (2) Burgess dengan istilah ‘Strategi Penelitian Ganda’; (3) Brannen dengan istilah ‘Mixing Methods’; (4) John W. Creswell dengan istilah ‘Combined Qualitative and Quantitative Designs’; (5) Giddens dengan istilah ‘Dualitas Structur atau Strukturati’; dan (6) Ritzer dengan istilah ‘Micro-Macro Integration’ (Brannen (ed), 2002; Ritzer and Goodman, 2003).

Menurut John Creswell dalam bukunya Research Design Qualitative & Quantitative Approache (1994), ada tiga model rancangan penelitian gabungan, yaitu: (a) model pertama, disebut pendekatan rancangan dua fase (the two-phase design approarche); (b) model kedua, disebut rancangan dominan-kurang dominan (the dominant-less dominant design); dan (c) model ketiga, disebut rancangan metodologi campuran (the mixed-methodology design). Sedangkan J. Brannen dalam bukunya ‘Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research’ (2002), membagi tiga model rancangan penelitian gabungan, yaitu: (a) rancangan penelitian yang menempatkan metode kuantitatif lebih dominan atas metode kualitatif; (b) rancangan penelitian yang menempatkan metode kualitatif lebih dominan atas metode kuantitatif; dan (c) rancangan penelitian yang menempatkan aspek kuantitatif dan kualitatif diberi bobot yang seimbang.

E. Hakikat Aksiologi Ilmu

Aksiologi, yaitu membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat. Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan masyarakat.

1. Fungsi ilmu pengetahuan (science)

Pada pembahasan di atas telah diuraikan tentang hakikat ilmu pengetahuan dan bagaimana cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan. Sedangkan fungsi ilmu pengetahuan bagi kehidupan ummat manusia menurut para ahli antara lain: (1) fungsi praktis, yaitu melakukan penyingkapan, mempelajari fakta, dan memajukan pengetahuan guna melakukan berbagai perbaikan dalam kehidupan masyarakat; dan (2) menetapkan hukum-hukum umum yang meliputi perilaku kejadian dan objek oleh ilmu yang bersangkutan, sehingga dapat mengkaitkan antara ilmu pengetahuan dengan beragam kejadian untuk membuat prediksi ke depan secara benar, sehingga mempunyai manfaat yang tinggi bagi kehidupan manusia, baik untuk kehidupan individu atau masyarakat (Kerlinger, F., 2002).

Pandangan lain mengatakan bahwa ada tiga fungsi atau kegunaan ilmu pengetahuan, yaitu: Pertama, sebagai alat eksplanasi, yaitu ilmu pengetahuan (science) merupakan media yang paling baik dalam menerangkan atau menjelaskan (mengeksplanasikan) segala fenomena kehidupan yang terjadi di masa lampau maupun yang terjadi di era sekarang. Segala kejadian dalam kehidupan di masa lampau, baik menyangkut perubahan fenomena alam, perubahan dan dinamika ekonomi, politik, hukum, dan sosial-kebudayaan semuanya mampu dijelaskan dengan baik oleh ilmu pengetahuan. Contoh, penjelasan segala peristiwa di masa lampau dapat dijelaskan oleh sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah pendidikan, sejarah hukum, sejarah kesusastraan, sejarah agama dan sebagainya. Penjelasan tentang segala fenomena di masa lampau yang objektif adalah diperoleh dari penjelasan (eksplanasi) ilmu pengetahuan.

Kedua, sebagai alat untuk meramalkan suatu fenomena tertentu. Melalui proses penelitian ilmiah tentang suatu fenomena tertentu, seorang ilmuwan akan memperoleh data yang valid dan mampu mengambil kesimpulan tentang sesuatu hal, misalnya fenomena X, melalui penelitian ilmiah seorang peneliti akan memperoleh: (a) latar belakang terjadinya fenomena X; (b) sebab-sebab terjadinya fenomena X; (c) faktor-faktor pendorong dan penghambat terjadinya fenomena X; (d) strategi meningkatkan kualitas fenomena X; (e) memberikan rekomendasi teoritik dan praktis tentang fenomena X, dan seterusnya tentang sesuatu yang bisa diungkap tentang fenomena X. Ketika dilakukan penelitan ulang tentang femonema X yang relatif sama dengan kondisi situs penelitian yang relatif sama di daerah lain, maka hasil penelitian ilmiah pertama akan menjadi referensi penting bagi penelitian lanjutan, dan hasil penelitian lanjutan tersebut akan mampu memberikan rekomendasi teoritik atau prediksi tentang perkembangan fenomena X tersebut di masa akan datang yang lebih lengkap. Jadi, fungsi ilmu pengetahuan dalam teori harus bisa memberikan fungsi prediksi ke depan tentang suatu fenomena kehidupan dengan baik. Meskipun sifat kebenaran prediksi tersebut tidak mutlak, namun kehadiran prediksi science mempunyai nilai fungsional yang penting bagi kehidupan sekarang dan yang akan datang.

Ketiga, sebagai alat kontrol. Perbedaan antara prediksi (ramalan) dengan kontrol (pengendalian) adalah, apabila prediksi sifatnya ‘relatif statis’, karena hanya memberikan beberapa alternatif kemungkinan akan terjadinya sesuatu, berdasarkan data-data empirik hasil penelitian sebelumnya. Sedangkan kontrol lebih mempunyai ‘sifat dinamik’ atau aktif terhadap suatu keadaan tertentu. Kontrol dilakukan juga tidak lepas dari hasil penelitian ilmiah. Suatu kontrol dapat dilakukan dengan baik, apabila telah dilakukan proses penelitian ilmiah terhadap sesuatu fenomena tertentu (Agus, B.1999; Keraf, S. dan Dua, M., 2001; Tafsir, 2007).

2. Tanggung jawab ilmu pengetahuan terhadap kehidupan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa setiap ilmu pengetahuan dibangun atas dasar tiga landasan filosofis ilmu, yaitu: ontologi ilmu, epistemologi ilmu, dan aksiologi ilmu. Khususnya tentang aksiologi, punya makna bahwa hakikat ilmu pengetahuan akan punya arti atau makna apabila ilmu pengetahuan itu mempunyai nilai pragmatis atau mempunyai makna fungsional bagi kelangsungan hidup masyarakat secara lebih berkualitas dalam segala aspeknya.

Atas dasar prinsip tersebut di atas maka prinsip-prinsip yang harus diperhatikan oleh setiap ilmuwan dalam memahami makna aksiologi ilmu pengetahuan antara lain:

1. Seorang ilmuwan mempunyai tanggungjawab sosial dan moral yang terpikul di pundaknya. Seorang ilmuwan tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara individual, namun juga ikut bertanggunjawab agar produk keilmuan atau hasil-hasil penelitian ilmiah mampu memberi manfaat bagi kehidupan masyarakat secara kuantitatif atau kualitatif.
2. Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan pada setiap proses penelitian yang dia lakukan.
3. Seorang ilmuwan harus: mampu memberikan penjelasan (eksplanasi) tentang fenomena hidup; mampu memberikan kesimpulan tentang fenomena hidup; dan mampu memprediksi tentang fenomena hidup secara objektif dan komprehensif, serta selalu membangun komitmen untuk ikut membentuk atau mewarnai pola perilaku manusia paripurna (manusia yang berkualitas dalam hubungan dengan sesamanya, dengan alam dan dengan Tuhannya) (Drijarkara, N.,1978; Suriasumantri J.S., 1996; Mutahhari, 1997).
4. Agar seorang ilmuwan mampu memberikan kontribusi pencerahan pemikiran kepada setiap manusia dalam memaknai segala fenomena kehidupan, maka setiap ilmuwan harus mampu membangun kualitas diri (internal) secara padu dan seimbang antara kualitas potensi intelektual, emosional dan spiritualnya (IESQ). Kemampuan diri dalam membangun IESQ akan mendorong setiap karya yang dihasilkan individu mempunyai makna pencerahan bagi kehidupan, sehingga apapun informasi dari hasil penelitian ilmiah diberbagai bidang kehidupan akan mempunyai nilai aksiologi (pragmatis) yang tinggi bagi kehidupan ummat manusia (Agustian, Ary G. 2005; Mutahhari, 2007).

Jadi, pada hakikatnya setiap ilmuwan mempunyai tanggungjawab ganda dalam upaya pembangunan kualitas hidup manusia, yaitu: (a) tanggungjawab membangun kualitas daya analisis ilmiah (prinsip-prinsip berpikir ilmiah), demi meraih kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bisa dipertanggungjawabkan; (b) tanggungjawab membangun kualitas sikap mental (potensi rasa dan karsa); demi meraih kehidupan yang damai dan sejahtera secara individu atau kelompok; dan (c) tanggungjawab membangun kualitas spiritual, demi meraih kerukunan antar ummat beragama dan demi meraih makna kebahagiaan hidup hakiki. Ketiga tanggungjawab tersebut merupakan satu kesatuan sistem, yang harus menjadi obsesi setiap ilmuwan dalam pengembangan setiap disiplin ilmu pengetahuan.

F. Hubungan Antara Filsafat, Ilmu, Agama dan Kehidupan

Sebagaimana yang telah disinggung atau diuraikan di atas, bahwa ‘dalam rangka membangun kualitas proses pemenuhan segala kebutuhan manusia dalam hidupnya, manusia harus berorientasi pada ‘nilai-nilai filosofis, nilai-nilai ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual’. Antara filsafat, ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan adalah suatu sistem. Uraian berikut ini akan menjelaskan tentang: (a) hubungan antara filsafat dengan ilmu; (b) hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan dan agama; (c) hubungan ilmu pengetahuan dengan nilai, norma (budaya); dan (d) hubungan antara filsafat, ilmu pengetahuan, agama dan kehidupan.

Pada dasarnya pembahasan tentang hubungan antara filsafat, ilmu, agama dan kehidupan sosial-budaya adalah merupakan penjelasan lebih lanjut tentang ‘hakikat aksiologi ilmu’. Oleh karena itu penjelasan berikut ini akan lebih memperkuat asumsi ‘bahwa antara filsafat, ilmu, agama dan makna kehidupan adalah sangat erat’. Filsafat dan ilmu pengetahuan harus mempunyai makna pragmatis atau mempunyai nilai fungsional bagi kehidupan masyarakat.

1. Hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan

Dalam perspektif apapun, tidak ada ilmuwan yang menolak asumsi bahwa ‘filsafat dan ilmu pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat’, keduanya bagaikan dua sisi dalam satu keping mata uang. Jadi, antara filsafat dengan ilmu pengetahuan merupakan satu sistem, keduanya sulit dipisahkan, keduanya saling mengisi dalam memahami segala fenomena kehidupan, baik fenomena sosial-budaya maupun fenomena alam. Ada beberapa argumentasi tentang eratnya hubungan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, antara lain:

a. Ilmu pengetahuan sebagai asas moral, artinya pengembangan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh setiap ilmuwan harus menjunjung tinggi kebenaran ilmiah dan mempunyai dimensi pengabdian secara universal (holistik) untuk nilai-nilai kemanusiaan yang agung. Paling tidak ada tujuh nilai yang terpancar dari hakikat keilmuan, yaitu: nilai kritis; nilai rasional; nilai logis; nilai objektif; nilai keterbukaan; nilai kebenaran; dan nilai pengabdian untuk kemaslahan hidup (kebaikan) secara universal. Diantara ketujuh nilai tersebut pada hakikatnya merupakan bagian dari ciri-ciri studi filsafat (Ghulsyani,M. 1986; Ankersmit. 1987; Hanafi, H., 2004). Jadi, baik filsafat maupun ilmu pengetahuan mempunyai misi yang sama dalam menjelaskan fenomena hidup di atas prinsip-prinsip: kejujuran, kebenaran, keterbukaan, kritis, logis dan kemaslahatan hidup.

b. Ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara dalam menemukan hakikat kebenaran secara rasional, empirik, dan objektif. Oleh karena itu pengembangan ilmu pengetahuan jangan sampai mengarah pada sikap scientisisme atau rasionalistis, diperlukan bantuan atau orientasi nilai-nilai filosofis untuk menyelami dunia hakikat atau makna sejati dibalik realitas empirik. Jadi, agar proses penemuan hakikat kebenaran ilmu pengetahuan mendekati kebenaran terdalam dan universal, maka pengembangan ilmu pengetahuan harus dan pasti mendasarkan kepada orientasi filsafat tertentu, artinya ketika pengembangan ilmu pengetahuan itu berorientasi pada nilai filosofis, makna aksiologi ilmunya akan lebih nampak.

c. Pengembangan bidang keilmuan harus disertai dengan pengembangan dalam bidang filsafat terutama yang menyangkut keilmuan. Hal ini terutama untuk mengontrol khususnya pada landasan epistemologi (metodologi) dan aksiologi (nilai fungsional) keilmuan. Jadi, proses kerja epistemologi ilmu dan proses aksiologi ilmu yang bermakna, mau tidak mau harus berorientasi pada nilai-nilai filosofis.

d. Filsafat merupakan ratu atau induknya ilmu pengetahuan, hal ini karena: (1) sikap dasar ‘selalu bertanya tentang sesuatu’ adalah hakikat filsafat, dan lahirnya atau berkembangnya ilmu pengetahuan adalah dari ‘suatu pertanyaan’ atau sikap selalu kritis (bertanya) tentang segala fenomena kehidupan. Jadi sikap dasar bertanya inilah yang melahirkan ilmu pengetahuan; dan (2) ada perbedaan dasar antara sikap bertanya dalam filsafat dan sikap bertanya dalam ilmu pengetahuan. Dalam filsafat mempertanyakan apa saja, universal atau holistik, dan multidimensional serta menyangkut hakikat inti dan paling mendalam. Sedangkan dalam ilmu terbatas hanya pada objek atau bidang kajiannya saja (Johnstone,H.W. 1968; Keraf dan Dua, 2001).

Berdasarkan uraian tersebut membuktikan bahwa antara filsafat dengan ilmu pengetahuan mempunyai hubungan sangat erat, bahkan sulit dipisahkan. Oleh karena itu ada salah satu bagian atau cabang dari filsafat adalah ‘filsafat ilmu pengetahuan’. Filsafat ilmu pengetahuan itu terutama berkaitan dengan upaya-upaya mengkaji hakikat segala sesuatu yang berkaitan dengan segala pengetahuan manusia, terutama menyangkut gejala pengetahuan dan sumber-sumber pengetahuan manusia. Contoh, pertanyaan filsafat pengetahuan adalah: bagaimana manusia bisa tahu?; apakah manusia bisa sampai pada pengetahuan yang bersifat pasti?; apakah pengetahuan sama dengan keyakinan?.

Filsafat ilmu pengetahuan merupakan cabang dari filsafat yang menjelaskan hubungan antar berbagai hal yang ada dalam alam ini secara sistematis dan rasional. Hal-hal yang tidak masuk akal (unreasunable) bukan medan kajian filsafat ilmu pengetahuan. Meskipun antara filsafat dan filsafat ilmu pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat, keduanya tetap mempunyai perbedaan ciri-ciri khusus (karakteristik) dalam ‘cara kerja’ untuk memahami suatu fenomena hidup. Sedangkan perbedaan cara kerja antara filsafat dengan filsafat ilmu pengetahuan antara lain:

1. Karakteristik cara kerja filsafat antara lain: (1) filsafat berkenaan dengan pencarian kebenaran fundamental tentang segala sesuatu; (2) kebenaran itu dicari dengan cara: argumentatif (pemaparan pendapat yang rasional disertai dasar-dasar penalarannya); dan non empirik (tidak berdasarkan pemahaman inderawi); (3) penalaran filosofis selalu mengandung ciri-ciri: kebermaknaan; skeptis (meragukan); menyeluruh (holistik); mendasar (radikal); kritis; dan analitis.
2. Karakteristik cara kerja filsafat ilmu antara lain: (1) berkaitan dengan pengkajian konsep-konsep, dan metode ilmiah. Berkaitan erat dengan pengkajian analisis konseptual dan bahasa yang digunakannya; (2) menyelidiki dan membenarkan ciri-ciri penalaran pengetahuan ilmiah apapun (logika deduktif dan logika induktif), baik dalam proses pembentukannya maupun sebagai suatu hasil; (3) mengkaji bagaimana cara berbagai ilmu yang berbeda satu dari yang lain itu saling berhubungan, dan memperlihatkan kesamaan antara disiplin ilmu pengetahuan satu dengan yang lain, tanpa mengabaikan derajat paradigma metode ilmiah masing-masing disiplin ilmu tersebut; (4) menyelidiki berbagai dampak pengetahuan ilmiah pada hal-hal sebagai berikut: (a) persepsi manusia akan kenyataan; (b) pemahaman berbagai dinamika alam; (c) saling keterkaitan antara logika dan matematika, serta kenyataan; (d) berbagai keadaan dan keberadaan teori; (e) berbagai sumber pengetahuan dan pertanggungjawabannya; dan (f) hakikat (the essence) manusia, nilai-nilainya, tempat dan posisinya dalam hidup (nilai pragmatis) (Semiawan, C., dkk. 2005).

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan tentang titik temu antara filsafat dengan ilmu pengetahuan, antara lain: (a) baik ilmu pengetahuan (scence) maupun filsafat sama-sama menggunakan ‘metode pemikiran reflektif’ dalam usaha untuk menghadapi dunia atau beragam fenomena kehidupan; (b) keduanya sama-sama meletakkan kerangka berpikir logis, kritis, objektif dan terbuka untuk mencari dan mengetahui hakikat kebenaran; (c) keduanya punya tujuan yang sama yaitu ingin memperoleh pengetahuan yang terbaru dan teratur; dan (d) filsafat memberikan landasan filosofis dalam proses penelitian ilmiah, sedangkan hasil research ilmiah berupa ilmu pengetahuan (science) melakukan pengecekan, pengujian terhadap filsafat yang menjadi orientasi filosofis dalam research (Praja, J.S., 2005). Sedangkan perbedaan pokok antara ‘filsafat’ dengan ‘ilmu pengetahuan’ adalah, kerangka berpikir filsafat adalah tentang hakikat segala sesuatu secara mendalam, menyeluruh dan ‘tidak bersifat empirik’, sedangkan ilmu pengetahuan ‘bersifat empirik’ dan tidak membicarakan hakikat segala sesuatu secara mendalam.

1. Hubungan antara filsafat dengan agama

Sebelum menjelaskan tentang konsep hubungan antara filsafat dengan agama, sebaiknya perlu dijelaskan terlebih dahulu secara singkat tentang apa pengertian agama?, dan apa pengertian filsafat?. Berdasarkan sumber-sumber literatur ilmiah tentang studi agama, telah dijumpai berbagai macam definisi tentang agama, dari beragam definisi tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (a) definisi agama yang menekankan segi ‘rasa iman atau kepercayaan’; (b) definisi agama yang menekankan aspek ‘agama sebagai sistem peraturan tentang cara hidup yang berkualitas’; dan (c) definisi agama yang mengkombinasikan antara kepercayaan dan cara hidup yang berkualitas. Perlu dipahami bahwa definisi agama yang mengkombinasikan antara kepercayaan dan cara hidup yang berkualitas adalah dianggap paling proporsional. Jadi, definisi agama adalah ‘agama merupakan sistem kepercayaan dan praktik kehidupan sehari-hari yang berdasarkan sistem kepercayaan tersebut manusia ingin meraih derajat kualitas hidup secara lahir dan batin, baik untuk kehidupan pribadi atau kelompok’.

Demikian juga definisi tentang filsafat, di banyak literatur tentang filsafat akan dijumpai beragam definisi filsafat yang telah disampaikan oleh para filosof. Keberagaman definisi ini disebabkan oleh: (a) kondisi dan tantangan lingkungan alam yang dialami oleh para filosof berbeda-beda; (b) titik tekan orientasi pandangan hidup masing-masing filosof berbeda; dan (c) adanya perkembangan dari ilmu filsafat itu sendiri dari jaman ke jaman selalu mengalami akumulasi atau penyempurnaan. Berdasarkan beragam definisi tentang filsafat, maka pada dasarnya dapat diambil kesimpulan bahwa filsafat adalah ‘suatu pengetahuan yang melakukan penyeledikan atau kajian tentang hakikat dari segala sesuatu dengan sungguh-sungguh (penuh kecintaan), universal, holistik untuk memperoleh hakikat kebenaran atau kebijaksanaan yang terdalam’.

Metode kerja atau cara penyelidikan dan tingkatan kebenaran antara ilmu, filsafat dan agama memang berbeda, ketiganya tidak boleh dicampur atau dipertukarkan, namun hakikatnya ketiganya mempunyai hubungan yang erat apabila dikaitkan dengan fungsi ilmu, filsafat dan agama tersebut bagi kehidupan manusia. Menurut para filosof sejatinya antara filsafat dengan agama atau sistem kepercayaan mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Hubungan antara filsafat dengan agama banyak dijelaskan dalam filsafat agama atau teologi. Sedangkan beberapa argumentasi yang memperkokoh pandangan tentang eratnya hubungan antara filsafat dengan agama (kepercayaan) antara lain:

1. Sebagaimana yang telah diuraikan di depan bahwa filsafat mempunyai peran untuk menjelaskan hakikat segala sesuatu sampai terdalam, holistik, universal, tetapi filsafat tetap ‘tidak mampu menjelaskan hakikat dibalik segala fenomena hidup ini secara mutlak’. Filsafat mengajarkan manusia, bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai kemerdekaan dalam menjelajah aneka fenomena hidup, tetapi filsafat ilmu tetap ‘tidak mampu untuk memahami hakikat makna dibalik kemerdekaan manusia’. Ternyata dibalik makna kemerdekaan manusia sejatinya adalah keterbatasan, keterbelengguan oleh sesuatu. Realitas tersebut membuktikan perlu adanya pemahaman dan perenungan terhadap nilai-nilai religious (nilai-nilai agama) dalam menutup keterbatasan manusia untuk memahami segala sesuatu dibalik realitas kemerdekaan manusia dalam hidupnya. Jadi, filsafat mendidik, melatih manusia untuk terus membangun kualitas daya kritis dan renungannya, dan agama berfungsi membimbing logika kritis dan arah perenungan diri untuk tetap memahami ‘hakikat diri’ dalam bingkai mikroskopik dan makroskopik.
2. Filsafat mengajarkan manusia berpikir logik, sistematis, objektif dalam memahami aneka fenomena hidup untuk meraih kebenaran yang sahih (valid), tetapi filsafat tetap ‘tidak mampu menjelaskan hakikat kekuatan dibalik kemampuan manusia berpikir logik, sistematis dan objektif’. Filsafat mengajarkan manusia untuk membangun kerangka berpikir deduktif maupun induktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan demi kehidupan, tetapi filsafat tetap ‘tidak mampu menjelaskan hakikat kekuasaan dibalik munculnya realias rasional dan empiris yang menjadi pijakan dalam pengembangan ilmu’. Untuk memperoleh pemahaman tentang hakikat kekuasaan dibalik kemampuan rasional (deduktif) dan empiris (indukif) manusia tersebut, adalah manusia harus menyelami dunia religious atau spiritual (nilai-nilai agama). Ilmuwan manapun tidak ada yang meyakini bahwa hakikat penggerak ‘benda’ adalah ‘benda’, hakikat penggerak ‘rasional’ adalah ‘rasional’. Penggerak ‘benda’ adalah ‘sesuatu diluar benda’, penggerak ‘rasional’ adalah ‘sesuatu diluar rasional’ dan itulah Tuhan, Sang Maha Penggerak segala fenomena kehidupan ini. Jadi, hubungan antara filsafat dengan agama sangatlah erat, terutama dalam memberikan makna, arti, dan essensi dari segala sesuatu.
3. Dalam memahami hakikat kebenaran dan hakikat tujuan hidup, studi filsafat melahirkan beragam perspektif (pandangan atau aliran), yang masing-masing perspektif melekat kuat sisi kelebihan dan kelemahannya. Setiap perspektif filosofis ‘tidak pernah sanggup menjelaskan hakikat kebenaran dan hakikat tujuan hidup secara komprehensif, holistik, dan universal’. Hakikat kebenaran dan tujuan hidup adalah sebatas sudut pandang aliran filosofis tertentu. Sedangkan agama selalu hadir dengan sistem aturan dan kepercayaannya untuk menyuguhkan pemahaman hakikat kebenaran dan tujuan hidup manusia secara integral, komprehensif dan universal menuju manusia paripurna. Disinilah letak eratnya hubungan antara filsafat dengan agama, karena hakikatnya filsafat yang selalu membicarakan tentang ‘hakikat segala sesuatu’ tidak akan pernah berhasil untuk menemukan ‘hakikat segala sesuatu’ apabila tidak didampingi dengan nilai-nilai spiritual.
4. Berbicara tentang hakikat sumber pengetahuan, mayoritas ilmuwan berpendapat sama, bahwa ada salah satu sumber pengetahuan yaitu ‘wahyu’. Filsafat adalah induknya ilmu pengetahuan, maka secara tidak langsung filsafat berhubungan erat dengan ‘wahyu’ atau agama sebagai sumber ilmu pengetahuan. Memang memahami filsafat sebagai ilmu pengetahuan adalah bersifat ‘otonom’, tetapi apabila filsafat akan dijadikan sebagai dasar dan pedoman hidup manusia untuk menggapai kebahagiaan lahir-batin, maka filsafat harus memasuki wilayah agama (studi filsafat agama atau teologi). Hal ini menunjukkan hubungan antara filsafat dengan agama sangatlah erat (Rasjidi, 1965; Nasution.H. 1975; Ghulsyani,M. 1986; Mutahhari, M. 1997; Praja, J.S., 2005; Sudiarja, dkk. 2006).

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan tentang titik temu antara filsafat dengan agama, antara lain: (a) baik agama maupun filsafat mempunyai kesamaan tujuan, yaitu ingin memahami dan mencapai ‘hakikat kebenaran dari segala sesuatu’. Memang cara memahami dan mencapai hakikat kebenaran antara keduanya berbeda, agama mendasarkan pada ‘keyakinan, kepercayaan dan ketaatan mutlak’, sedangkan filsafat melalui perenungan dan penyelidikan mendalam; dan (b) keduanya mempunyai objek kajian dan makna pragmatis yang relatif sama. Objeknya adalah segala sesuatu dalam hidup ini, baik yang material atau imaterial (transendental), sedangkan makna pragmatisnya adalah ’menjadikan kehidupan manusia bijaksana dan bermakna baik lahir atau batin, baik secara individu atau kelompok’. Konsep yang perlu dipahami adalah, ‘meskipun ada titik temu antara agama dan filsafat, keduanya tetap berbeda, filsafat tetap filsafat dan agama tetap agama’, namun keduanya punya hubungan erat dalam membangun kualitas kehidupan ummat manusia yang lebih bermakna.

1. Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan agama

Menurut para ahli yang berorientasi pada paham positivisme ortodok (kaum positivistis), bahwa ilmu pengetahuan itu tidak ada hubungan atau keterkaitan sama sekali dengan agama. Bagi kaum rasionalistis atau positivistis, eksistensi agama bagi kehidupan manusia adalah kosong, bahkan agama menurut kaum rasionalistis atau positivistis adalah racun atau sumber terjadinya beragam problem masyarakat. Bagi kaum rasionalis bahwa Tuhan itu semata-mata hanyalah suatu rekaan imajinasi manusia (a fragment of human imagination) (Poedjawiyatna, 1980; Mutahhari, M. 1986).

Menurut para ahli, pada hakikatnya pandangan kaum positivistis tentang hubungan antara ilmu dan agama tersebut banyak sisi kelemahannya, antara lain:

1. Kerangka berpikir kaum positivistis atau kaum rasionalistis yang menihilkan peran agama dalam kehidupan, (misalnya Feuebach, Bertrand Russel; dan Karl Mark), adalah banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi lingkungan hidup sosial ekonomi dan politik yang dialami para tokoh tersebut sehari-harinya, yang mencerminkan suasana disintegrasi dan ketidak mampuan elite agama di Eropa dalam menampilkan peran agama untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada jamannya. Jadi, pandangan tersebut sebenarnya sangat subjektf (situasional, parsial), dan tidak integral dalam mencermati hakikat fenomena kehidupan. Dimata para ilmuwan tersebut para elite agama yang hidup di jamannya banyak dianggap menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan kualitas hidup di berbagai aspek, disamping itu para ilmuwan sekuler tersebut memandang hakikat agama hanya dari realitas historis bukan dari essensi ajaran atau syariat agama (Abraham, F.M. 1982; Ghulsyani,M. 1986).
2. Sebagaimana yang telah disinggung di muka, bahwa hakikat kebenaran ilmu pengetahuan (science) adalah bersifat relatif, dan dari waktu ke waktu akan tetap diuji kebenarannya dengan analisis research sesudahnya. Oleh karena itu sangatlah tidak layak menilai hakikat kebenaran dalam agama hanya mendasarkan pada kebenaran ilmu pengetahuan yang sangat relatif, yang masih perlu adanya penelitian ilmiah berikutnya. Jadi, apa yang dianggap benar dalam perspektif science hakikatnya adalah ‘kebenaran sementara atau relatif’, masih diperlukan revisi bahkan revolusi (Kuhn, T., 1970; Agus, B., 1999), sehingga sangat tidak signifikan ketika menilai kebenaran agama yang ‘absolut’ dengan kebenaran ilmu yang ‘sementara atau relatif’.
3. Pada hakikatnya semua manusia mempunyai banyak keterbatasan kemampuan dan pengalaman dalam hidupnya, sehingga dia tidak mampu mengakses semua yang ada diluar kemampuan akal (rasional) dan indranya (empiris), sementara setiap pikiran manusia yang normal (kualitas merenung) selalu mengakui adanya ‘sesuatu’ di luar jangkauan kemampuan manusia, yang menentukan kehidupan manusia (kekuatan supranatural). Jadi, ketika produk pemikiran manusia meyakini ‘sesuatu diluar nalar adalah kosong’, sejatinya hal itu adalah sikap ‘pengkerdilan potensi rasional (deduktif) dan empirik (induktif) manusia’ dalam memahami essensi kehidupannya (Nasution, 1975; Hanafi, 2004)
4. Setiap manusia selalu mengalami kegelisahan-kegelisahan dalam hidupnya, karena beragam persoalan yang muncul diluar rancangan dan jangkauan nalar manusia, dan agama adalah obat yang paling baik dalam menghilangkan kegelisahan hidup, bukan ilmu pengetahuan. Sering terbukti para ilmuwan atheis, akhir perjalanan hidupnya adalah tragis dengan cara bunuh diri, tidak mampu menampilkan sosok ilmuwan ideal dalam mengakhiri jalan hidupnya, hal ini disebabkan dia terus mengikuti ‘godaan pikiran (nalar)untuk bertanya dan terus bertanya tentang sesuatu tanpa tersentuh oleh nilai-nilai essensi dibalik pertanyaan’, akhirnya frustasi (dispsikhis) dan pasti dia merasakan kehampaan hidup, kondisi psikis seperti ini sangat membutuhkan nilai-nilai agama.
5. Segala sesuatu dalam kehidupan ini mempunyai idea-idea (teori Plato). Idea itulah memberi arti tentang makna essensi ‘sesuatu’, idea itu ada di alam idea. Seluruh indra manusia yang nampak dan apa saja yang nampak di dunia ini hakikatnya tidak ada arti, dia hanya bayangan dari idea. Jadi, idea inilah yang menentukan segala kebaikan (absolut good atau Yang Mutlak Baik), dan Yang Mutlak Baik itulah Tuhan; dan setiap manusia mengakui adanya peran nilai, norma dalam kehidupan, disamping itu setiap manusia hakikatnya mengakui adanya Zat Maha Besar dan Maha Sempurna. Salah satu sumber nilai dan norma kehidupan tersebut adalah agama atau kepercayaan (Tafsir, A. 2003; Agustian, Ary G. 2005; Sudiarja, dkk. 2006).

f. Ketika mencermati latarbelakang sejarah kehidupan para ilmuwan atheis (anti agama) tersebut, mayoritas mereka mengalami kegagalan yang telah dibentuk oleh lingkungannya dalam proses pembelajaran budaya, khususnya aspek sosialisasi nilai-nilai kehidupan, internalisasi nilai-nilai kehidupan, dan enkulturasi nilai-nilai kehidupan. Oleh karena itu pandangan mereka tentang tidak adanya hubungan agama dengan ilmu pengetahuan adalah parsial atau tidak integral (Syariati, 1982; Mutahhari, M. 1986).

Berdasarkan beberapa argumentasi tersebut di atas membuktikan bahwa: (a) agama dan llmu pengetahuan mempunyai hubungan yang sangat erat, khususnya ditinjau dari aksiologi ilmu; (b) argumentasi rasional yang menihilkan peran agama dalam kontek kehidupan hakikatnya tidak mendasar, bahkan pandangan tersebut sejatinya mengkerdilkan potensi akal pikiran manusia yang sangat kompleks dan dinamik; dan (c) antara agama dan ilmu pengetahuan memang mempunyai metode kerja yang berbeda dalam memahami ‘makna kebenaran’, namun keduanya tetap mampu memberikan kontribusi dalam memaknai arti hidup. Agama tanpa ilmu pengetahuan akan kehilangan ‘pencerahan hidup’, demikian juga sebaliknya ilmu pengetahuan tanpa agama akan membawa ‘bencana dan kesesatan hidup’ (Ghulsyani,M. 1986).

1. Hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma (budaya)
Sejak dulu sampai sekarang, dikalangan ilmuwan tetap terjadi silang pendapat tentang hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma sosial budaya. Beragam pandangan tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua pandangan tentang hubungan antara ilmu pengetahuan (science) dengan nilai-norma kehidupan sosial-budaya, antara lain:

1. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat positivisme, yang umumnya terwakili oleh kelompok ilmu pengetahuan alam (natural sciences) atau matematika cenderung berpandangan bahwa: (1) perkembangan ilmu pengetahuan alam dan matematika tidak ada hubungannya dengan nilai dan norma (culture) yang berkembang di masyarakat; dan (2) paradigma pengembangan ilmu matematika dan ilmu pengetahuan alam atau pengetahuan ilmiah bersifat logis, pasti dan objektif-rasional. Sedangkan paradigma nilai, norma atau kebudayaan (culture) adalah dibangun atas dasar relativitas atau kenisbian budaya (Ravertz, J.R. 1982). Oleh karena itu menurut Karl Pearson, dalam Agus, B. (1999), bahwa sikap ilmiah yang ideal dalam pengembangan science adalah ‘tidak memihak’ (disinterestedness) dan ‘bebas dari prasangka dan kecenderungan pribadi’ (unbiased by personal feeling). Jadi, pengetahuan ilmiah pengembangannya harus ‘bebas nilai’ (value free).
2. Kalangan ilmuwan yang berorientasi pada filsafat idealisme atau konstruktivisme. Pandangan ini mengkritik habis-habisan pandangan pertama yang menilai pengembangan ilmu pengetahuan harus bebas nilai (value free).

Diantara alasan kelompok yang menolak ilmu pengetahuan (science) bebas nilai adalah: (1) bahwa pilihan terhadap asumsi dan rumusan hipotesis yang dikembangkan para ilmuwan pada hakikatnya adalah ‘pernyataan yang timbul dari penilaian‘ (evaluative assertions), sedangkan menilai terhadap sesuatu sudah pasti berdasarkan pada standar nilai dan norma tertentu. Jadi, pandangan bahwa science harus bebas nilai adalah mendustai realitas pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri; (2) teori yang disusun di atas asumsi yang merupakan penilaian terhadap suatu fenomena pada hakikatnya juga tidak terlepas dari pandangan dan nilai tertentu yang diyakini atau atas dasar motivasi subjek untuk memilih. Jadi, unsur subjektiv sedikit banyak ikut mewarnainya; (3) setiap peneliti dalam melakukan penelitian ilmiah pada hakikatnya tidak bisa membebaskan dirinya dari: (a) hasil karya penelitian ilmiah sebelumnya; (b) pengaruh lingkungan fisik dan sosial, lingkungan budaya, politik dan kondisi ekonominya; dan (c) tidak bisa lepas dari pengaruh kecenderungan pribadi, khususnya dalam memilih atau membatasi ruang lingkup objek penelitiannya (variabel dan indikator yang diteliti). Jadi, argumentasi tersebut di atas mementahkan pandangan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus bebas nilai (value free). (Goode, W.J. and Paul K. Hatt. 1981; Myrdal, G. 1982; Poespoprodjo, 1987).

Berdasarkan uraian di atas, khususnya menyimak argumentasi yang mendukung bahwa ilmu pengetahuan ilmiah baik ilmu-ilmu alam (natural sciences) maupun ilmu-ilmu sosial (social sciences) adalah tidak bebas nilai (unvalue free) yang berlaku dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa hubungan antara ilmu pengetahuan dengan nilai-norma kehidupan sosial budaya adalah sangat erat.
2. Ditinjau dari filsafat ilmu, maka hakikat pengembangan ilmu pengetahuan alam maupun ilmu pengetahuan sosial harus mengandung aspek aksiologi ilmu (nilai fungsional atau pragmatis), misalnya, hasil penelitian ilmiah harus mampu memberikan alternatif pemecahan masalah bagi kemaslahatan kehidupan dan mampu memprediksi fenomena yang akan terjadi dihari-hari yang akan datang (Myrdal, G. 1982; Brannen, J. 2003).
3. Perkembangan ilmu pengetahuan harus mampu meningkatkan kualitas kehidupan sosial dan kebudayaan atau mampu membangun peradaban hidup. Setiap perkembangan ilmu pengetahuan harus mampu memberi manfaat bagi terwujudnya kesejahteraan dan kedamaian hidup di masyarakat, baik untuk kurun waktu sekarang maupun waktu yang akan datang.
4. Hubungan antara filsafat dan kehidupan sosial budaya.

Manusia dalam hidup diberi kemampuan untuk memaksimalkan potensi cipta, rasa dan karsanya dalam rangka proses pemenuhan aneka macam kebutuhan hidup baik secara individu atau kelompok. Sebagaimana uraian di atas, tentang manfaat mempelajari filsafat, maka satu bagian yang paling penting dalam proses kehidupan manusia adalah kebutuhan mengembangkan kualitas hidup melalui pemahaman tentang filsafat hidup dan ilmu pengetahuan. Apabila dicermati secara mendalam, maka sebenarnya semua aktivitas hidup manusia di masyarakat tidak bisa lepas dari kontribusi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dan hakikat filsafat dan ilmu pengetahuan merupakan ‘wujud ide’ dari kebudayaan atau ‘sistem budaya’ (Koentjaraningrat, 1982).

Hakikat kehidupan sosial adalah ‘merupakan suatu sistem’. Kehidupan sosial disebut sebagai ‘sistem sosial’ adalah karena dalam kehidupan sosial terdapat unsur-unsur (sebagai sub unsur), yang masing-masing unsur sosial tersebut bertindak sebagai sub sistem yang saling mempengaruhi atau kait mengkait dalam proses kehidupan, dan penggerak atau penyatu antar sub unsur dari sistem sosial tersebut sejatinya adalah nilai-nilai dasar kehidupan sosial yang disebut filsafat hidup (way of life).

Kehidupan sosial (kolektif) dimanapun pada hakikatnya merupakan suatu sistem, sedangkan karakteristik suatu sistem sosial antara lain:

1. Ditinjau dari ruang lingkupnya, maka sistem sosial dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bersifat makro, dan mikro. Bersifat makro adalah menunjuk pada sistem sosial (sistem masyarakat atau sistem negara) yang berskala besar atau luas, misalnya: Sistem pendidikan nasional; Sistem peradilan negara; Sistem perdagangan nasional; Sistem pertahanan nasional. Jadi unsur-unsur dalam sistem makro atau sub sistem sosial makro juga sangat luas atau kompleks. Sedangkan sistem sosial yang bersifat mikro adalah menunjuk pada bentuk sistem sosial yang kecil, misalnya sistem keluarga. Jadi, sub sistem atau unsur-unsur dalam sistem keluarga juga sempit dan kecil, misalnya dalam keluarga inti, sub unsurnya adalah ayah, ibu dan anak. Perlu dipahami, bahwa orientasi pengembangan kehidupan kelompok yang berskala mikro atau makro tersebut secara berkualitas harus mendasarkan pada nilai-nilai filosofis atau pandangan hidup (way of life).
2. Perubahan atau perkembangan dari salah satu aspek atau unsur atau sub sistem akan mempengaruhi atau menghasilkan perubahan pada sub sistem lainnya, misalnya perubahan pada sub sistem ekonomi nasional akan membawa implikasi perubahan pada aspek politik, aspek keamanan atau sub sistem lainnya. Agar proses dan dampak perubahan tersebut menghasilkan kualitas dan stabilitas hidup, maka proses perubahan harus tetap diwarnai oleh nilai-nilai pandangan hidup (filsafat) yang disepakati oleh warga masyarakat.
3. Antara sub sistem satu dengan sub sistem lainnya dalam ’sistem sosial’ bersifat deterministik (saling mempengaruhi) (Berry, D., (1981). Jadi, pada hakikatnya masing-masing unsur dalam sistem tersebut pemberdayaannya adalah berorientasi pada sistem filsafat yang dianut, Contoh, sistem pendidikan nasonal adalah berorientasi pada filsafat Pancasila. Demikian juga sistem kehidupan keluarga akan mendasarkan pada nilai-nilai filosofi hidup tertentu, yang diyakini oleh anggota keluarga.

Jadi, suatu kehidupan sosial dianggap sebagai suatu ‘sistem sosial’, mengandung arti bahwa ‘kehidupan sosial tersebut mempunyai unsur-unsur atau sub unsur sosial yang saling berinteraksi satu dengan lainnnya, dan unsur-unsur tersebut membentuk struktur sistem sosial itu sendiri dan mengatur sistem sosial, sedangkan penggerak sistem adalah nilai filosofis’. Unsur-unsur sistem sosial tersebut antara lain: (1) pengetahuan atau keyakinan; (2) sentimen atau perasaan (tindakan afektif); (3) tujuan atau sasaran atau cita-cita; (4) nilai dan norma sosial; (5) kedudukan (status) dan peranan (role) sosial; (6) stratifikasi sosial (tingkatan sosial seseorang dalam kelompok); (7) kekuasaan atau pengaruh (power), atau wewenang; (8) sanksi atau pengendalian atau kontrol sosial; (9) sarana atau fasilitas dalam kehidupan kelompok; dan (10) tekanan dan ketegangan (Sulaeman, M., 1998). Kesupuluh unsur sub sistem tersebut hakikatnya operasionalisasinya dikendalikan oleh sistem filosofis tertentu yang menjadi orientasi hidup (way of life) pada setiap kehidupan kelompok sosial dari yang bersifat makro (bangsa) maupun yang mikro (keluarga). Uraian tersebut di atas membuktikan bahwa hubungan filsafat dengan kehidupan sosial adalah sangat erat

Sedangkan mengenai kebudayaan, menurut antropolog Koentjaraningrat (1982), bahwa pada dasarnya suatu kebudayaan itu mempunyai tiga wujud, yaitu: (1) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, cita-cita dan kemauan. Wujud ini sering disebut sebagai ‘sistem budaya’; (2) wujud kebudayaan dalam bentuk kompleks kelakuan berpola atau tata cara, atau kebiasaan sehari-hari. Wujud ini sering disebut sebagai ‘sistem sosial’; dan (3) wujud kebudayaan dalam bentuk fisik atau peralatan (sistem teknologi). Demikian juga suatu kebudayaan mempunyai unsur-unsur yang disebut sebagai budaya universal, yang meliputi tujuh unsur, yaitu:

1) Sistem religi atau sistem kepercayaan. Setiap kehidupan masyarakat dimanapun di dunia ini pasti mengenal sistem religi dan upacara keagamaan atau sistem keyakinan pada kekuatan ’supra natural’. Pada kelompok masyarakat yang berideologi komunis sejatinya secara personal tetap mengakui adanya kekuatan dahsyat diluar diri manusia (supra natural), hanya cara merasakan dan menyatakan adanya kekuatan supra natural tersebut berbeda dengan orang-orang Islam, Kristen, Katholik, Hindhu, Budha dan sebagainya.

2) Sistem organisasi kemasyarakatan. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan pola-pola organisasi sosial kemasyarakat, yang berbentuk pola-pola aktivitas sosial dalam kelompok-kelompk di masyarakat yang berdasarkan adat istiadat yang berlaku. Misalnya, organisasi atas dasar ikatan kekerabatan, organisasi atas dasar ikatan profesi, organisasi ata dasar ikatan politik dan sebagainya.

3) Sistem pengetahuan. Setiap masyarakat dimanapun pasti mengembangkan sistem pengetahuan, baik menyangkut pengetahuan alam, sosial atau pengetahuan humaniora. Misalnya, mengembangkan penelitian atau kajian ilmiah, mengembangkan institusi pendidikan sebagai transformasi ilmu pengetahuan dan budaya, dan sejenisnya. Semakin maju kehidupan suatu masyarakat semakin kompleks sistem ilmu pengetahuan yang dikembangkan.

4) Bahasa. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan bahasa sebagai media komunikasi selama proses interaksi sosial, baik bahasa simbolik maupun non-simbolik. Misalnya, mengembangkan bahasa lokal, bahasa nasional, dan bahasa pergaulan internasional, dan sejenisnya.

5) Kesenian. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan kesenian sesuai dengan kondisi tantangan atau situasi yang dihadapi sehari-hari pada lingkungan tempat tinggalnya, misalnya, masyarakat agraris akan mengekspresikan potensi seninya (baik seni rupa, seni tari, seni bangun, dan sebagainya) sesuai dengan kondisi alam lingkungan agraris, dan sebagainya.

6) Sistem mata pencaharian hidup. Setiap masyarakat dimanapun akan mengembangkan sistem mata pencaharian hidup, misalnya mata pencaharian pertanian, nelayan, pertukangan, industri, profesi tertentu, dan sebagainya. Pola pengembangan sistem mata pencaharian hidup tersebut antar masyarakat tentu sangat beragam bentuk dan tingkat kuantitas-kualitasnya.

7) Sistem teknologi, yaitu sistem peralatan atau benda-benda sebagai sarana dalam melakukan aktivitas tertentu di masyarakat. Misalnya: sarana tempat tinggal, sarana persenjataan, sarana transportasi dan sebagainya..

Menurut R. Linton (1963), setiap unsur-unsur budaya universal tersebut mempunyai tiga wujud budaya (wujud sistem budaya; wujud sistem sosial; dan wujud sistem teknologi). Dalam kajian antropologi, telah dijelaskan bahwa setiap melakukan kajian tentang kebudayaan tidak cukup hanya mengkaji dari satu unsur, atau aspek budaya secara parsial, tetapi harus dilakukan secara integratif atau holistik atau multidimensional, karena hakikat kebudayaan itu adalah mencakup seluruh cipta, rasa dan karsa manusia yang terjelma dalam wujud sistem budaya, sistem sosial dan sistem teknologi secara integratif (Ihromi, 1984; Koentjaraningrat, 1989; Kuntowijoyo, 1999). Jadi, setiap unsur kebudayaan tersebut mempunyai wujud sistem budaya, wujud sistem sosial dan wujudu sistem teknologi, yang menyatu terintegrasi sebagi sistem, dan semua unsur budaya tersebut berorientasi pada suatu filsafat tertentu (wujud budaya idea).

1. G. Hubungan Teori dengan Penelitian Ilmiah

1. Pengertian teori


Dalam pandangan filsafat ilmu dan teori-teori ilmu sosial, bahwa suatu perspektif (sudut pandang) untuk menilai ‘kebenaran’ terhadap suatu fenomena sosial-budaya tidak bisa dianggap sebagai salah satu perspektif yang ‘paling benar’, sedangkan perspektif yang lainnya dianggap salah. Hal ini disebabkan setiap perspektif itu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: Pertama, pandangan filsafat yang berbeda; Kedua, beragam orientasi teori (theoritical orientation) yang dipakai; Ketiga, metode yang digunakan dalam memahami realitas sosialnya juga berbeda; dan Keempat, fokus permasalahan yang dikaji tidak sama (Ritzer G, 2002).

Dalam studi ilmu sosial, akan ditemukan beragam definisi tentang teori, antara lain: Pertama, menurut M.Francis Abraham (1982), Teori adalah ‘suatu skema abstrak atau konstruksi simbol, sebagai hasil perangkuman terhadap kenyataan empiris yang dapat diamati menjadi suatu abstraksi tingkat tinggi’ (Abraham, 1982); Kedua, menurut Kerlinger, teori adalah ‘seperangkat konstruk (konsep), batasan (definisi), dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan menjelaskan dan memprediksikan gejala itu’ (Kerlinger, 1986); Ketiga, menurut Gibbs (1972), Teori adalah ‘suatu kumpulan statemen yang mempunyai kaitan logis, merupakan cermin dari kenyataan yang ada tentang sifat-sifat atau ciri-ciri khusus, peristiwa atau benda’; Keempat, menurut Hage (1972), bahwa ‘suatu teori itu tidak hanya mengandung konsep dan statemen, tetapi juga definisi (baik definisi teoritis maupun operasional) dan hubungan logis (teoritis dan operasional) antar konsep’ (Zamroni, 1992). Kelima, menurut Johnson, teori merupakan ‘seperangkat proposisi yang berhubungan secara logis dan sistematis, yang menggambarkan pada satu tingkatan generalitas yang tinggi dan menjelaskan seperangkat gejala-gejala empiris’ (Johnson, 1981). Suatu teori dapat juga dikatakan sebagai suatu konstruksi yang padu dari beberapa elemen dasar atau penting yang menyangkut tentang: konsep, variabel, statemen dan format (Turner, 1982).

Timashell menyimpulkan, bahwa suatu teori adalah seperangkat proposisi, yang menunjukkan hubungan secara baik, yang menunjukkan bahwa: (a) proposisi itu dapat terdefinisikan dalam bentuk konsep; (b) hubungan antar proposisi itu harus konsisten satu dengan yang lain; (c) proposisi-proposisi tersebut dapat mendeduksikan sebuah generalisasi; dan (d) proposisi itu harus dapat dipercaya, artinya menunjukkan hasil observasi dan dapat dibuktikan lebih lanjut, dan generalisasinya itu mampu memperluas ruang lingkup pengetahuan (Timashell, 1967).

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, penulis dapat menyimpulkan tentang pengertian teori, yaitu suatu teori harus: (a) mengandung konsep, definisi dan proposisi; (b) ada hubungan logis diantara konsep-konsep, definisi-definisi dan proposisi-proposisi; (c) hubungan tersebut menunjukkan atau merupakan cermin fenomena sosial; dan (d) dengan demikian teori dapat digunakan untuk eksplanasi dan prediksi, terhadap realitas empirik yang dapat diamati dan dipertanggungjawakan objektivitasnya.

Proposisi adalah ‘suatu pernyataan yang mengandung dua atau lebih konsep atau variabel’ (Zamroni, 1992). Dalam terminologi scientific researh (penelitian ilmiah), menurut jumlah konsep atau variabel yang terdapat di dalamnya, proposisi dibedakan menjadi tiga, yaitu: Univariat; Bivariat; dan Multivariat. Jadi, suatu proposisi dianggap ‘benar’, apabila proposisi itu cocok dengan fakta-fakta, atau kalau sesuai dengan apa yang digambarkan oleh proposisi tersebut (Lloyd C, ed, 1983).

2. Kriteria atau komponen teori sosial

Diantara salah satu tujuan dari penelitian kuantitatif adalah menguji teori, sedangkan salah satu tujuan dalam penelitian kualitatif adalah menghasilkan atau mengembangkan teori. Suatu teori harus memenuhi beberapa kriteria, menurut para ahli, suatu teori dapat diterima apabila memenuhi dua kriteria, yaitu:

1. Kriteria ideal, yaitu apabila teori itu memenuhi syarat-syarat: (1) sekumpulan ide yang dikemukakan mempunyai hubungan logis dan konsisten; (2) sekumpulan ide yang dikemukakan harus mencakup seluruh variabel yang diperlukan untuk menerangkan fenomena yang dihadapi; (3) kumpulan ide tersebut mengandung proposisi-proposisi dimana ide yang satu dengan yang lain tidak tumpang tindih; dan (4) kumpulan ide-ide tersebut dapat diuji atau dites secara empiris.
2. Kriteria pragmatis, yaitu bahwa ide-ide itu dikatakan sebagai teori apabila memiliki: (1) asumsi dan paradigma; (2) frame reference, yakni kerangka berpikir yang mengidentifikasi aspek-aspek kehidupan sosial yang akan diuji secara empiris; (3) konsep-konsep, yakni abstraksi atau simbol sebagai wujud sesuatu ide; (4) variabel, yakni penjabaran konsep yang mengandung dimensi; (5) proposisi, yakni hubungan antar konsep; dan (6) hubungan yang sistematis dan bersifat kausal diantara konsep-konsep dan proposisi-proposisi tersebut (Zamroni, 1992).

Menurut Johnson, ada lima komponen atau unsur penting dalam suatu ‘teori’, yaitu:

1. Konsep dan variabel. Konsep merupakan ramuan dasar dan fundamental dalam setiap teori. Konsep adalah suatu kata (pernyataan simbol) yang menunjuk pada gejala atau sekelompok gejala. Sedangkan variabel adalah sebagai gejala yang bervariasi (misalnya jenis kelamin). Variabel dibedakan menjadi dua, yaitu variabel kuantitatif (contoh, luas kota, umur, jumlah pendapatan) dan kualitatif (Contoh, kepandaian, kedamaian, kasih sayang). Variabel kuantitatif dibedakan menjadi dua, yaitu: (a) variabel diskrit (variabel nominal atau kategorik); dan (b) variabel kontinum (dibagi lagi menjadi tiga: Variabel ordinal; variabel interval dan variabel ratio).
2. Sistem klasifikasi, artinya dengan menggunakan konsep dan variabel-variabel, akan dikategorisasikan dan diklasifikasikan hal-hal berkaitan dengan konsep dan yang tidak untuk membangun teori.
3. Proposisi dan tipe proposisi. Proposisi yaitu satu pernyataan mengenai suatu hubungan antara dua atau lebih konsep.
4. Masalah dan penjelasan kausal, suatu teori yang baik harus terdiri dari proposisi-proposisi yang menyatakan hubungan secara kausal.
5. Variabel independen (variabel utama) versus Variabel dependen (variabel tergantung). Apabila sifat hubungan variabel saling tergantung, maka keputusan mengenai variabel mana yang independen dan yang dependen sulit ditetapkan (Johnson, 1981).

Sedangkan menurut Tom Cambell (1994), bahwa sebuah teori sosial, harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1) Kejelasan. Kejelasan adalah syarat pertama sebuah teori. Kejelasan ‘sering’ tidak dijumpai dalam teori-teori sosial. Apa yang tidak jelas tidak bisa menjadi calon penaksiran rasional.

2) Konsistensi. Konsistensi dari awal hingga akhir. Adanya koherensi internal. Sebuah teori tidak boleh bertentangan dengan dirinya.

3) Kecukupan empiris. Bagi seorang positivis, tes kunci atas sebuah teori adalah sejauh mana teori itu Corroborated (dikorobarasikan) atau barangkali, tidak difalsifikasi dengan observasi-observasi yang dapat diulangi. Kekeliruan yang umum terjadi dalam teori sosial adalah ‘generalisasi yang terlalu tergesa-gesa dari bukti empiris’. Penilaian atas unsur empiris dalam teori-teori sosial ini memang agak sulit, karena: (a) banyak tergantung pada fakta-fakta historis yang tidak lagi tersedia secara cukup untuk proses analisis; (b) berhubungan dengan fenomena perilaku sosial yang sangat kompleks dan dinamik; (c) tidak bisa langsung diobservasi secara singkat, tapi membutuhkan partisipasi aktif dan waktu yang lama; dan (d) sulit memimpin pengalaman sosial untuk menguji hipotesis empiris, khususnya menyangkut fenomena perubahan sosial yang kompleks, dinamik dan ganda.

4) Kecukupan eksplanatoris. Teori-teori jangan hanya mencocokkan fakta-fakta kehidupan sosial, melainkan juga harus menjelaskan fakta-fakta sosial secara sistematis, logis.

5) Rasional normatif. Bahwa nilai-nilai, dan implikasi-implikasinya dapat dijelaskan dan diidentifikasi secara jelas dan konsistensinya tetap dijaga (Cambell, 1994). Kelima syarat teori yang dikemukakan Cambell tersebut lebih bernuansa pada perspektif positivistik (makro atau deduktif), meskipun demikian sebaiknya setiap teori dalam ilmu sosial sebaiknya memenuhi kelima syarat tersebut, termasuk teori-teori sosial mikro (perspektif konstruktivis).

3. Paradigma teori ilmu sosial

Dalam studi tentang teori ilmu-ilmu sosial, dikenal ada tiga macam orientasi atau paradigma, yaitu: (a) paradigma fakta sosial. Orientasi filosofis teori-teori yang masuk kelompok paradigma fakta sosial adalah pada filsafat positivisme (perspektif positivistik); (b) paradigma definisi sosial. Orientasi filosofis teori-teori yang termasuk kelompok paradigma definisi sosial adalah pada filsafat idealisme (perspektif konstruktivis); (c) paradigma integratif, yaitu paradigma yang memandang pentingnya memadukan antara pandangan positivisme dengan idealisme yang ‘mengejawantah’ dalam proses penelitian ilmiah. Pandangan kelompok penelitian ilmiah yang menghendaki perpaduan antara dimensi makro (kuantitatf) dan mikro (kualitatif) ini adalah berorientasi pada pandangan filosof Immanuel Khan. Berikut dijelaskan secara singkat ketiga paradigma tersebut sebagai berikut

Pertama, teori-teori ilmu sosial yang termasuk dalam kelompok teori naturalis atau positivis (paradigma fakta sosial), antara lain: Teori fungsional struktural; Teori sistem; Teori konflik; dan Teori sosiologi makro. Teori-teori ini oleh Ritzer dikelompokkan pada kelompok teori berparadigma ‘fakta sosial’ (Ritzer, 2002). Teori-teori sosial yang berorientasi positivisme, dan seringkali juga disebut dengan berbagai label lain, seperti empirisme, behaviorisme, naturalisme dan saintisme (Bungin, 2003), oleh sebagian ahli dikelompokkan pada studi sosial makro, sedangkan teori yang berorientasi Humanistik atau Interpretif, dan sering disebut kelompok idealisme, oleh para ahli dikelompokkan pada studi sosial mikro. Kelompok teori yang berorientasi positivisme dikenal dengan sebutan ‘tradisi pemikiran Perancis dan Inggris atau Aristotelian’, sedangkan kelompok teori yang berorientasi idealisme atau humanisme, konstruktivisme dikenal dengan sebutan ‘tradisi pemikiran Jerman atau Platonik’ (Sanderson, 1991). Pokok-pokok pandangan teori sosial naturalis atau positivis antara lain:

1. Memandang ilmu sosial sebagai suatu ilmu seperti halnya dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam (Fisika, Biologi). Dalam melakukan analisis sosial, ilmu sosial harus menggunakan metode ilmiah seperti yang diterapkan pada studi ilmu fisika dan ilmu biologi dan sejenisnya.
2. Memandang bahwa fenomena sosial itu memiliki pola-pola dan hukum-hukum deterministik, sebagaimana hukum-hukum yang mengatur ilmu alam. Proses analisis data dalam penelitiannya harus menekankan pada pendekatan kuantitatif (perspektif etik).
3. Memandang pentingnya kesatuan ilmu, artinya harus ada suatu teori tunggal tentang masyarakat atau teori-teori sosial yang ada harus digabungkan kedalam suatu kesatuan teori ilmiah, dan prinsip-prinsipnya harus berlaku secara umum (universal) setiap penelitian ilmiah untuk disiplin ilmu pengetahuan apapun.
4. Asumsi teori ini tentang manusia dan masyarakat adalah: (1) bahwa individu merupakan makhluk yang merupakan produk dari aturan-aturan sosial, bukan makhluk yang mampu bebas membentuk dunia sosialnya sehari-hari; (2) manusia mempunyai rasionalitas yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tujuan, tetapi sarana dan tujuan itu sudah ada (inherent) dalam aturan-aturan sosial; dan (3) lingkungan masyarakat dan struktur sosial menentukan atau membentuk pribadi individu (eksternal men-determinasi internal) (Coleman, J.S., 1994).
5. Kaum positivis mengangap bahwa pengetahuan kausal (sebab-akibat) itu memberi kejelasan dan kegunaan dalam mengungkap atau memahami semua fenomena kehidupan. Korelasi-korelasi kausal antar variabel dalam beragam fakta sosial harus dapat diuji secara empirik (Rossides, 1978; Cambell, 1981; Craib, 1984; Poloma, 2000).

Kedua, teori-teori yang termasuk kelompok teori humanis atau interpretatif (paradigma definisi sosial) adalah: Teori aksi oleh Weber; Teori interaksionisme simbolik; Fenomenologi; dan Teori-teori ilmu sosial mikro. Teori-teori ini oleh Ritzer dikelompokkan pada teori yang berparadigma ‘definisi sosial’ (Ritzer, 2002). Sedangkan beberapa pokok pikiran teori-teori ilmu sosial humanis atau interpretatif antara lain:

1. Pandangan ilmu sosial humanis menerima pandangan common sense tentang hakikat sifat manusia, dan mencoba menyesuaikan dan membangun dirinya diatas pandangan tersebut. Manusia dipandang memiliki kebebasan berkreatif dan berinovatif. Manusia tidak lagi tertekan (terdeterminasi) oleh faktor eksternal (lingkungan hidupnya) atau struktur sosial, faktor yang menentukan diri manusia adalah kualitas pikiran dan jiwanya sendiri (internal) (Coser and Rosenberg, 1969).
2. Pembangunan teori dalam ilmu sosial bermula dari hal-hal yang nyata dalam kehidupan sehari-hari, proses analisis data dalam penelitian ilmiah harus lebih menekankan pada fenomena sosial mikro, dengan pendekatan kualitatif (perspektif emik).
3. Ilmu sosial positivis sangat menekankan pada asumsi bahwa ilmu sosial harus merupakan suatu ilmu yang senada dengan ilmu-ilmu alam (natural sciences), sedangkan ilmu-ilmu sosial humanis sebaliknya, yaitu menekankan sifat-sifat (properties) dalam perilaku manusia yang membuat mereka unik, dinamik dan kompleks dalam praktik-praktik sosial-budayanya sehari-hari.
4. Asumsi ilmu sosial humanis tentang manusia dan masyarakat adalah: (1) manusia bebas dan lebih kreatif dalam menentukan proses hidup dan makna hidupnya; (2) kebebasan dan kreativitas individu tersebut dapat menyebabkan individu mampu membentuk kehidupan dunia sosialnya; dan (3) masyarakat terbangun dari kebermaknaan subjektif (kualitas pikir dan jiwa seseorang) dan proses interaksi-interaksi individu dalam kehidupan sehari-harinya. (Cambell, 1981; Poloma, 2002).
5. Menurut E. Kant dan Hegel, jiwa manusia terutama adalah sebagai produser ide-ide, dan karenanya, sejarah manusia juga merupakan manifestasi dari sejarah ide-ide yang diciptakan manusia itu sendiri disepanjang sejarah hidupnya, manusia adalah makhluk sadar dan bertujuan (purposive creators). Oleh karena itu memahami manusia dan kehidupan masyarakatnya haruslah menukik ketingkat dunia ide dan dunia makna yang terbenam dalam diri manusia itu sendiri. Dunia ide atau dunia makna itulah yang kemudian disebut fakta fenomenologis, yang untuk memahaminya sangat diperlukan suatu proses penyelaman, penghayatan, suatu proses interpreventive understanding, yang oleh Weber disebut dengan pendekatan verstehen (Bungin, 2003). Oleh karena itu metode pengumpulan data pada penelitian yang menggunakan pendekatan verstehen adalah wawancara takterstruktur dan observasi partisipatif.

Ketiga, paradigma integratif, yaitu paradigma yang memandang pentingnya memadukan antara pandangan positivisme (teori-teori fakta sosial) dengan idealisme (teori-teori definisi sosial) yang ‘mengejawantah’ dalam proses penelitian ilmiah. Bagaimana gambaran tentang pandangan pentingnya melakukan pendekatan integratif dalam penelitian ilmiah, telah dijelaskan pada uraian diatas (periksa kembali). Pada prinsipnya pandangan paradigma atau teori sosial integratif adalah:

1. Dalam studi ilmu-ilmu pengetahuan sosial dan budaya, menuntut adanya keterpaduan orientasi teori-teori makro (positivis atau deduktif) dan teori-teori mikro (idealis atau induktif).
2. Hakikat realitas fenomena sosial budaya adalah majemuk, kompleks, dan dinamik. Oleh karena itu orientasi paradigmatik dalam proses penelitian ilmiah terhadap fenomena sosial budaya yang dinamik dan kompleks tersebut akan lebih pas apabila menggunakan perpaduan (integrasi) antar teori-teori fakta sosial dan teori-teori definisi sosial.
1. Ketika proses penelitian ilmiah dalam memahami fenomena sosial budaya tersebut dengan menggunakan pendekatan teori integratif secara baik, maka hasil analisis datanya akan lebih bersifat komprehensif dan holistik, tidak bersifat dangkal dan parsial (satu aspek atau satu sudut pandang)

4. Fungsi dan peranan teori sosial dalam penelitian ilmiah

Beberapa kajian ilmiah telah menjelaskan bahwa fungsi teori sangat sentral dalam proses penelitian ilmiah. Oleh karena itu setiap penelitan ilmiah harus mempunyai orientasi teoritik yang dijadikan sebagai pedoman dan arahan proses penelitian ilmiah. Menurut para ahli, fungsi atau peranan teori dalam penelitian ilmiah sangat sentral, antara lain:

Pertama, menurut Zamroni (1992), fungsi teori ilmu sosial secara umum adalah (a) untuk sistematisasi pengetahuan sosial (typologies); (b) untuk eksplanasi, prediksi dan kontrol sosial. Eksplanasi berhubungan dengan peristiwa yang telah terjadi; Prediksi berhubungan dengan peristiwa yang akan terjadi; dan (c) sebagai kontrol sosial berhubungan dengan usaha untuk menguasai atau mempengaruhi peristiwa yang akan terjadi tersebut .

Kedua, menurut Francis Abraham (1982), paling tidak ada delapan fungsi teori ilmu sosial dalam proses analisis sosial–budaya antara lain: (a) mengarahkan pada problem-problem potensial dan menghasilkan kajian investigasi baru; (b) meramalkan fakta-fakta sosial. Suatu sistem teoritik sering memberikan prediksi dasar yang aman berdasarkan pengetahuan intuitif, analisis historis, dan observasi keberagaman sosial; (c) mensistematiskan kajian dan hubungan dalam skema konseptual yang baik; (d) membuat gambaran yang baik tentang hubungan antara temuan empirik yang spesifik dan orientasi sosial secara umum, sehingga mempertinggi makna penelitian tentang fenomena sosial; (e) membuktikan kebenaran dengan memberikan makna yang jelas; (f) membimbing dan mempersempit rentangan (ruang lingkup) fakta sosial yang diteliti; (g) membantu sebagai alat analisis untuk proses penelitian; dan (h) menunjukkan elemen-elemen pengetahuan dan mengisinya dengan pengetahuan intuisi, pengetahuan yang mengesankan atau generalisasi secara luas.

Ketiga, menurut Robert K. Merton, peranan teori dalam kaitannya dengan proses penelitian ilmu sosial antara lain:

1. Teori membantu menjelaskan sejumlah kesalahpahaman terhadap konsep kehidupan sosial. Teori memberikan orientasi umum dalam proses penelitian. Teori membantu dalam hal seleksi kasus, fakta dan data (hal ini merupakan pandangan kaum positivis). Menurut Homans, peneliti seharusnya merasa bebas untuk tidak menerima tuntunan teoritis ‘secara absolut atau mutlak’, tetapi Homans tetap mengakui ada hubungan antara teori dan penelitian ilmiah (ini gambaran pandangan kaum interpretif).
2. Teori membantu dalam membangun konsep ilmu sosial. Konsep merupakan bagian penting dari teori; mereka menentukan bentuk dan isi variabel. Teori memberikan definisi konsep yang interpretif, sementara empirisme memberikan definisi operasional dari konsep.
3. Teori menyediakan interpretasi ilmu sosial post factum. Pertama kali data dikumpulkan dan kemudian dijadikan subjek dalam analisis interpretif. Proses ini lebih cenderung menjelaskan penemuan (deskriptif), dibandingkan dengan menguji hipotesis yang sudah dirancang sebelumnya.
4. Menyusun generalisasi empiris. Fungsi utama dari teori sosial dalam penelitian empiris (kuantitatif) adalah meringkas keseragaman yang diobservasi dari hubungan antar variabel dan mensintesakannya dengan referensi untuk membuat skema konseptual (penelitian menguji teori). Hal ini berbeda fungsi teori untuk penelitian kualitatif (penelitian untuk mengembangkan teori), yaitu teori sekedar sebagai pedoman awal dalam memahami fenomena sosial, berikutnya teori dikembangkan selama proses penelitian di lapangan, atau bahkan dalam penelitian kualitatif akan ditemukan teori baru.
5. Teori dapat mendorong lebih lanjut munculnya teori ilmu sosial berikutnya. Penelitian demi penelitian akan dapat merevisi, memodifikasi, menambah khasanah teori baru sampai merubah teori-teori sosial yang telah ada sebelumnya.
6. Teori memberikan sebuah sumber fertilisasi silang dari bidang-bidang yang berkaitan pada objek penelitian.

Berdasarkan beberapa pandangan para ahli tentang hubungan antara teori dengan penelitian, akhirnya Francis Abraham (1982) menyimpulkan tentang kondisi saling mempengaruhi antara teori sosial dengan proses penelitian sosial sebagai berikut:

1. Sebuah sistem teoritis menganjurkan sejumlah masalah dan hipotesis yang perlu diteliti. Dalam proses penelitian, peneliti mungkin dapat menemukan variabel yang baru, relevan untuk pengujian teori atau pengembangan teori.
2. Teori dapat menuntun proses penelitian, menfasilitasi seleksi variabel kunci, membatasi ruang lingkup penelitian dengan menunjuk fakta-fakta signifikan dengan tepat.
3. Penelitian empiris dapat menguji, menvaliditasi atau tidak mengakui teori sebelumnya, karena telah ditemukan bukti-bukti baru.
4. Penelitian membantu membuat teori yang sama sekali baru, atau memodifikasi teori yang sudah ada.
5. Penelitian empiris membangun dan memperbaiki konsep-konsep ilmu sosial, bagian bangunan yang sangat penting dari teori ilmu sosial.
6. Teori memungkinkan sebuah penyajian yang efektif dari sebuah penemuan empiris. Teori membandingkan dan membedakan sebuah penemuan dari studi-studi yang terpisah dan meningkatkan arti penting mereka. Teori meningkatkan keefektifan penyelidikan tertentu. Fakta akan berarti jika dijelaskan, diatur dalam kerangka sebuah teori.
7. Kondisi saling mempengaruhi antara teori sosial dan penelitian sosial adalah masalah menyeimbangkan antara kualitas dan kuantitas. Kuantitas dan kualitas adalah dua aspek kehidupan yang perlu diseimbangkan dalam pengkajian.
8. Penelitian empiris (kuantitatif) akan meningkatkan kekuatan memprediksi, ketepatan, validitas dan veriabilitas dari teori-teori ilmu sosial. Dengan penemuan dan perbaikan melalui penelitian dimungkinkan untuk mengembangkan masalah yang lebih tinggi tingkat kekuatan prediksinya.

Kedelapan hal di atas lebih menunjukkan keterkaitan yang begitu kuat antara teori dengan proses penelitian, khususnya penelitian kuantitatif (perspektif etik atau orientasi positivis) dalam studi ilmu sosial. Sedangkan dalam perspektif emik (penelitian kualitatif), kedudukan dan peran teori sebagai orientasi (theoritical orientation) dalam memahami fenomena sosial budaya yang kompleks, dinamik dan serba ganda tetap dianggap penting, hanya posisinya tidak ‘sama persis’ seperti kedudukan dan fungsi teori dalam pendekatan kuantitatif. Kenapa kedudukan dan fungsi teori dalam penelitian kualitatif ‘tidak begitu sangat setral’ (abolut) ?, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

1. Sifat realitas sosial-budaya adalah: diasumsikan ganda, rumit, semu, dinamis, dikonstruksi, holistik dan kebenaran realitas bersifat relatif.

b. Realitas sosial budaya sangat ditentukan oleh peran manusia yang mempunyai karakter: aktif kreatif, punya kemauan bebas, perilaku ditentukan oleh kondisi jiwa dan pikirannya yang terus berkembang.

c. Sifat hubungan realitas sosial-budaya adalah: semua entitas secara simultan saling mempengaruhi, sehingga tidak menekankan hubungan sebab akibat.

d. Analisa terhadap fenomena sosial-budaya adalah: induktif, berkesinambungan dari awal hingga akhir, deskriptif kualitatif;

e. Kriteria kualitas hasil penelitian adalah: bukan obyektivitas melainkan otentisitas dan relevansi dengan situasi alami.

f. Posibilitas generalisasinya adalah bukan nomotheic statements dengan generalisasi statistik, tetapi ideographic statements dengan generalisasi analitis, dan

g. Paradigma yang dianut bukan paradigma positivis, melainkan paradigma interpretif (interpretatif), yang memahami fenomena sosial-budaya secara nominalis, normatif dan voluntaristik (Moleong, 1990; Burrel-Morgan, 1979; Mulyana, 2002).

Menurut para ahli, (Francis Abraham (1982); Ian Craib (1984); Tom Cambell (1994); Dedy Mulyana (2002); Christopher Lloyd (1983); Anthoni Giddens (1984, 1987) dan sebagainya, apabila kita mengkaji tentang beragam teori sosial, untuk kita jadikan sebagai theoritical orientasitions dalam proses penelitian ilmiah, hal-hal yang perlu diperhatikan seorang peneliti antara lain:

1. Tidak ada teori ilmu sosial yang benar secara absolut, oleh karena itu kebenarannya masih ada unsur ‘relativitasnya’.
2. Setiap teori ilmu sosial semestinya mengandung dimensi kognitif, dimensi afektif dan dimensi normatif (secara eksplisit dan emplisit harus mengandung beberapa asumsi mengenai bagaimana keadaan dunia yang sebenarnya).
3. Tidak ada teori yang sudah mencapai bentuk formula final, karena pengetahuan baru mengalami modifikasi setiap waktu. Oleh karena itu setiap teori yang muncul memungkinkan untuk merevisi atau menolak teori yang lama, begitu seterusnya, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
4. Tidak ada teori yang mampu memahami fenomena sosial secara utuh, integral, menyeluruh, karena teori sering berkembang atas dasar salah satu aliran filosofis tertentu.
5. Semua teori tidak selalu dapat diaplikasikan pada setiap situasi dan kondisi (fenomena sosial). Peneliti sosial harus memilih teori mana yang sesuai dengan situasi dan kondisi khas fenomena sosial yang akan dikaji, tetapi peneliti sosial harus tetap belajar (tahu) akan beragam teori dalam studi ilmu sosial.
6. Suatu teori yang produktif harus memberikan saran dalam pemecahan problema potensial yanng terjadi di masyarakat, dan memberikan perspektif baru serta menjadi petunjuk untuk penelitian sosial budaya berikutnya.
7. Tidak ada teori ilmu pengetahuan (alam atau sosial) yang bisa menolak pengaruh nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan ekstra-ilmiah. Hal yang paling penting adalah setiap teori ilmu pengetahuan harus mampu menjelaskan fenomena alam atau sosial seobjektif mungkin dan bisa dipertanggungjawabkan secara rasional (akal sehat).
8. Posisi teori-teori ilmu sosial sebagai ‘theoritical orientation’, pada penelitian yang ber-perspektif etik, ‘tidak sama persis’ dengan penelitian yang ber-perspektif emik. Hal ini disebabkan kedua pendekatan penelitian tersebut mempunyai perbedaan paradigma dan filsafat yang menjadi orientasi pikiran dan pandangan dalam melihat hakikat fenomena sosial-budaya.
9. Setiap teori ilmu sosial harus bersifat fleksibel, artinya harus selalu terbuka untuk diperbincangkan dengan berbagai argumentasi, dalam segala situasi dan perubahan terus menerus diberbagai aspek kehidupan.

Berdasarkan uraian tersebut memberikan kepahaman bagi para peneliti ilmu sosial antara lain:

1. Dalam studi ilmu sosial akan dijumpai beragam paradigma, yang masing-masing paradigma mempunyai varian teori yang beragam pula.
2. Dalam melakukan analisis terhadap fenomena sosial-budaya, seorang peneliti harus mengkaji karakteristik fenomena sosial-budayanya, untuk kemudian dicarikan kesesuaiannya dengan ciri atau karakter orientasi teoritisnya. Misalnya, kondisi kehidupan masyarakat, dengan menampilkan realitas sosial penuh konflik, tentu akan lebih proporsional apabila masyarakat tersebut dianalisis dengan teori konflik atau teori varian konflik, dan kurang proporsional apabila menggunakan teori fungsional struktural (hal ini bukan berarti orientasi teori fungsional tidak bisa sama sekali digunakan untuk menganalisis realitas sosial konflik, namun lebih serasi apabila menggunakan teori konflik atau varian konflik).
3. Antara paradigma satu dengan yang lain tidak dalam posisi ‘ada yang paling benar, atau paling utama dari yang lain’, beragam paradigma tersebut akan tepat atau ‘proporsional’ dipakai apabila situasi dan kondisi realitas sosialnya memang selaras dengan karakteristik paradigma tersebut.
4. Dalam memahami dan mengkaji teori sosial, kita harus menyakini bahwa teori lama tidak berada dalam ‘posisi mencapai kebenaran absolut’. Penemuan teori baru bisa berfungsi menyempurnakan teori lama (akumulatif), tetapi bisa juga membongkar, merevolusi teori lama (Ritzer, 1980).

H. Kesimpulan

Uraian tentang hakikat filafat ilmu tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, bahwa dasar-dasar filsafat ilmu paling tidak menyangkut tentang: penalaran, logika, sumber pengetahuan; dan kriteria kebenaran. Hakikatnya ‘tidak semua kegiatan berpikir (penalaran) manusia mendasarkan pada penalaran ilmiah (deduktif atau induktif)’. Ada juga kegiatan berpikir manusia berdasarkan ‘intuisi’ dan ‘wahyu’. Secara umum ada dua macam logika, yaitu: logika formal atau logika deduktif atau logika minor, dan logika material atau logika induktif atau logika mayor. Sumber pengetahuan dapat berasal dari lima cara yaitu: cara tradisi (tenacity), cara otoritas atau kewenangan, cara pengalaman sehari-hari, baik secara individu atau kelompok; cara logika deduktif dan induktif; dan cara atau metode ilmu pengetahuan atau dikenal dengan metode ilmiah. Sedangkan kriteria kebenaran dalam filsafat ilmu antara lain menurut: Teori kebenaran korespondensi; Teori kebenaran koherensi; Teori kebenaran pragmatis; Teori kebenaran sintaksis; Teori kebenaran semanti; Teori kebenaran non-deskripsi; dan Teori kebenaran logik.

Kedua. hakikat ilmu pengetahuan adalah: (a) science dimulai dari kesangsian atau keragu-raguan terhadap beragam fenomena hidup, tidak dimulai dari kepastian absolut seperti dalam ajaran agama; (b) science tidak bersinggungan dengan hal-hal yang gaib, melainkan berkaitan dengan data-data empirik; (c) penjelasan science bersifat detail, sistematis, objektif dan praktis tentang beragam fenomena hidup, baik sosial-budaya maupun alam; (d) kebenaran science bersifat relatif, berubah dari waktu ke waktu tergantung pada hasil penelitian ilmiah berikutnya; (e) kebenaran science terbuka bagi siapapun untuk menguji ulang dan membuka kesempatan bagi siapapun untuk menolak atau bahkan merevolusi ilmu pengetahuan atau teori yang telah ada; dan (f) kebenaran pandangan science tergantung pada orientasi filosofis yang dijadikan pedoman dalam pengembangan teori-teori science dan metode penelitiannya.

Ketiga. hakikat ontologi ilmu, adalah ‘hakikat apa yang dipelajari oleh suatu ilmu, atau hakikat objek kajian dari suatu ilmu’, oleh karena itu bentuk-bentuk pertanyaan ontologis ilmu pengetahuan adalah: Hakikat apa (objek apa) yang dikaji?; bagaimana wujud yang hakiki dari objek ilmu tersebut?; dan bagaimana hubungan antar objek–objek suatu ilmu tersebut? dan sejenisnya. Ada beberapa konsep penting yang perlu dipahami dalam mengkaji tentang ontologi (hakikat apa yang dikaji) dalam ilmu, antara lain: metafisika; asumsi; peluang; keterbatasan science; dan keterpaduan science-religious suatu keniscayaan.

Keempat, hakikat epistemologi ilmu adalah membahas secara mendalam proses atau prosedur dalam memperoleh ilmu pengetahuan atau suatu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Diantara metode keilmuan adalah bersifat terbuka, objektif, logis dan menjunjung kebenaran atau kesahih-an (valid) data di atas segala-galanya. Pada aspek epistemologi inilah letak kegiatan dari penelitian ilmiah (scientific research), atau epistemologi merupakan ‘cara mendapatkan pengetahuan yang benar’. Persoalan kunci atau utama yang dihadapi oleh setiap epistemologi pengetahuan adalah ‘bagaimana mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan aspek ontologi dan aksiologi masing-masing’. Dan perlu dipahami hakikatnya ilmu itu mempunyai dua peranan yaitu: satu pihak sebagai metafisika, sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (educated common sense).

Kelima, hakikat aksiologi ilmu adalah membahas tentang manfaat (pragmatis) yang diperoleh dari pengetahuan bagi kehidupan manusia, atau bagaimana keterkaitan antara pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral dalam kehidupan di masyarakat. Jadi, aspek aksiologi lebih menyangkut dimensi fungsional dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan masyarakat. Maka aspek yang dikaji dalam aksiologi ilmu antara lain: fungsi ilmu pengetahuan (science); dan tanggung jawab ilmu terhadap kehidupan.

Keenam, hubungan antara filsafat, ilmu, agama dan kehidupan sosial-budaya adalah bagaikan suatu sistem, yang satu dengan yang lain saling mengisi, dan saling memberikan arti atau makna tentang hakikat kehidupan manusia menuju keunggulan hidup di berbagai bidang. Jadi, Ilmu, filsafat, agama dan kehidupan tidak bisa dipisahkan. Namun perlu diingat antara ilmu, filsafat dan agama tetap mempunyai perbedaan mendasar, karena metode kerja ketiganya mempunyai karakteristik yang berbeda.

I.Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA


Abraham, F.M. 1982. Modern Sociological Theory, An Introduction, Oxford University Press. Delhi.

Agus, B.1999. Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial, PT.Gema Insani Press. Jakarta.

Agustian, Ary G. 2005. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosional dan Spiritual (ESQ). Penerbit ARGA. Jakarta.

Alvesson, M. and Skoldberg. 2000. Reflexive Methodology. New Vistas for Qualitative Research, SAGE Publications, Inc. London.

Ankersmit. 1987. Denken over geschiedenis. Een overzicht van moderne geschiedfilosofische opvattingen. Dick Hartoko (penerjemah). Refleksi tentang Sejarah. Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah. 1987.PT. Gramdeia. Jakarta.

Bakri, M. (ed). 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Tinjauan Teoritis dan Praktis, Lemlit Iniversitas Islam Malang.

Bakri, N., 1995. Logika Praktis. Dasar Filsafat dan Sarana Ilmu. Liberty. Yogyakarta.

Berry, D. 1981. Pokok-pokok Pikiran dalam Sosiologi, Team LPPS (penerjemah) 1998. CV. Rajawali. Jakarta.

Brannen, J. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif (Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam Varian Kontemporer), PT. Raja Grafindo Persada. Yogyakarta

Bungin, B. 2001. Metodologi Penelitian Sosial. Format-format Kuantitatif dan Kualitatif, Airlangga University Press. Surabaya.

Burrell, G. and Morgan, G. 1994. Sociological Paradigms and Organisational Analysis Elements of the Sociology of Corporate Life. Athenaeum Press. NewCastle.

Campbell, T. 1981. Seven Theories of Human Society, Hardiman (penerjemah). Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perbandingan. 1994. Kanisius. Yogyakarta.

Chadwick, A.B. Dkk. 1984. Social Science Research Methods, Ice Hall. Inc. Englewood Cliffts. New Jersey. Sulistia dkk (penerjemah). Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial .1991. IKIP Semarang Press. Semarang.

Coleman. J.S. 1994. Foundations of Social Theoriy. Muttaqien (Penerjemah) Dasar-dasar Teori Sosial 2008. Nusa Media. Bandung

Copi, I.M. 1978. Introduction to Logic. Th ed. Macmillan. New York.

Coser, L. and Rosenberg, B. 1969. Sociological Theory: A Book of Reading, Third Edition. The Macmillan Company. London.

Craib, I. 1984. Modern Social Theory: From Parsons to Habermas, Paul S. Baut (penerjemah), Teori-teori Sosial Modern dari Parsons sampai Hubermas., 1992. CV. Rajawali. Jakarta.

Creswell, J.W. 1994. Research Design Qualitative & Quantitative Approache, SAGE Publications. London.

_____.. 2005. Educational Research. Planning, Conducting, and Evaluating Quantitative and Qualitative Reserach, Second Edition. Pearson Merrill Prentice Hall. New Jersey.

Drijarkara, N. 1977. Sebuah Bunga Rampai Dari Sudut Filsafat. Yayasan Kanisius. Yogyakarta.

_____, 1978. Percikan Filsafat. PT. Pembangunan. Jakarta.

Gay, L.R. 1983. Educational Research Competencies for Analysis & Application. 2 nd Edition. Ohio: A Bell & Howell Company.

Ghulsyani,M. 1986. The Holy Quran and the Sciences of Nature. Penerjemah Agus Efendi. Filsafat Sains menurut Al Qur’an. 1994. Mizan. Bandung.

Giddens, A. 1995. The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration, Adi Loka (penerjemah). Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial .2003. Pedati. Pasuruan.

Goode, W.J. and Paul K. Hatt. 1981. Methods in Social Research. Auckland: McGraw-Hill International Book Company.

Hadi, S., 2004. Metodologi Research 1,2 dan 3. Andi Yogyakarta.

Hanafi, H., 2004. Dirasat Islamiyyah. Penerjemah Faqih. Islamologi 2. Dari Rasionalisme ke Empirisme. LkiS.Yogyakarta.

Horton, P. and Hunt, C.L. 1984. Sociology, Sixth Edition. Mc. Graw-Hill Book Company. London.

Idrus, M., 2007. Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). UII Press. Yogyakarta.

Ihromi, T.O., 1984. Pokok Pokok Antropologi Budaya. Yayasan OBOR Indonesia dan Universitas Indonesia Jakarta.

Johnstone,H.W. 1968. What Is Philosophy?. New York: The Ronald Press Company.

Johnson, D.P. 1981. Sociological Theory, Classical Founders and Contemporary Perspectives, Lawang Robert (penerjemah), Teori Sosiologi Klasik dan Modern. PT. Gramedia. Jakarta.

Kattsoff, L.O., 1996. Elements of Philosophy. Soemargono, Penerjemah. Pengantar Filsafat. Tiara Wacana Yogyakarta.

Keraf, S. dan Dua, M., 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, Kanisius. Yogyakarta.

Kerlinger, F.N. 1980. Foundation of Behavioral Research, (third edition) Simatupang LR (penerjemah), Asas-asas Penelitian Behavioral. 2002. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru. Jakarta.

Kuhn, T. 1970. The Structure of Scientific Revolutions, Ist and 2d eds. Chicago: University Of Chicago Press.

Langeved. 1961. Menudju ke Pemikiran Filsafat. PT. Pembangunan. Djakarta

Linton, R., 1963. The Study of Man. Ew York, London. D. Appleton Century Company.

Lloyd, C. Ed. 1983. Social Theory and Political Practice, Nazaruddin Sjamsudin (penerjemah). Teori Sosial dan Praktek Politik. 1986. C.V. Rajawali. Jakarta.

Miles, M.B and Huberman, A.M. Tanpa tahun. Qualitative Data Analysis, Rohidi T.R. (penerjemah). 1992. UI Press. Jakarta.

Moleong, L.J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Muhadjir, N. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif, Telaah Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, Realisme Metaphisik, Rake Sarasin. Yogyakarta.

Mulyana, D. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya, Rosdakarya. Bandung.

Mutahhari, M. 1986. Society and History, Mashem (penerjemah), Masyarakat dan Sejarah. Kritik Islam atas Marxisme dan Teori llainnya. 1986. Mizan. Bandung.

_____, 2002. Man and Universe. Penerjemah Ilyas Hasan. Manusia dan Alam Semesta. Lentera. Jakarta.

Myrdal, G. 1982. Objektivitas Penelitian Sosial. LP3ES. Jakarta.

Nasution.H. 1975. Filsafat Agama. Bulan Bintang. Jakarta.

Nurgiyantoro, B, dkk. 2002. Statistik Terapan, Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Peursen, C.A.van. 1976. Cultuur in Stroomversnelling een geheel bewerkte uitgave van Strategie van de Cultuur. Dick Hartoko (penerjemah) Strategi Kebudayaan. Kanisius. Yogyakarta

_____. 1980. Orientasi di Alam Filsafat. Penerjemah Dick Hartoko. Gramedia. Jakarta.

Poespoprodjo, W., 1985. Logika Sientifika, Pengantar Dialektika dan Ilmu. Penerbit CV. Remadja Karya. Bandung.

_____. 1987. Subjektivitas dalam Historiografi (Suatu Analisis Kritis Validitas Metode Subjektivo-objektif dalam Ilmu Sejarah). Remadja Karya. Bandung.

Poloma, M. M. 1979. Contemporary Sociology Theory, YASOGAMA (penerjemah), Sosiologi Kontemporer, 2000. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Praja. J.S. 2005. Aliran-Aliran Filsafat dan Etika. Prenada Media. Jakarta.

Rasjidi, 1965. Filsafat Agama. Pemandangan. Djakarta.

Ravertz, J.R. 1982. The Philosophy of Science. Oxford University Press. Penerjemah Saut Pasaribu. 2004. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Ritzer, G. 2002. Sociology: A Multiple Paradigm Science, Alimandan (penerjemah), Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Ritzer, G and Goodman, D.J. 2003. Modern Sociological Theory. Sixth edition. Alimandan (penerjemah). Teori Sosiologi Modern. 2004. Prenada Media. Jakarta.

Rossides, D. W. 1978. The History and Nature of Sociological Theory, Houghton Mifflin Comp. Boston, Illinois.

Salam, B., 1997. Logika Material. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Rineka Cipta. Jakarta.

Salim, A. 2001. Teori dan paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya), PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.

Sanderson, S. K. 1991. Macrosociology, Scond edition. Wajidi F. (penerjemah). Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. 2000. PT. Raja grafindo Persada. Jakarta.

Seidman, E. 1991. Interviewing as Qualitative Research. A Guide for Reseachers in Education and the Social Sciences, Teachers College Columbia University. New York.

Semiawan, Conny, dkk.,2005. Panorama Filsafat Ilmu Landasan Perkembangan Ilmu Sepanjang Zaman. Mizam Publika. Jakarta Selatan.

Silverman, D. 1993. Interpreting Qualitative Data. Methods for Analysing Talk, text and Interaction, First publ. SAGE Publications. London.

Spradley, J. P. 1980. Participant Observation, Holt Rinehart and Winston. New York, Chicago.

Stainback, S. And William Stainback. 1988. Understanding & Conducting Qualitative Research. Kendall / Hunt Publishing Company. Dubuque. Iowa.

Strauss, A.C.J. 1990. Basics of Qualitative Research, Grounded Theory Procedures and Technique, Shodiq. M. (penerjemah). Dasar-dasar penelitian kualitatif. 2003. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Sudiarja, dkk. 2006. Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya. PT. Gramedia. Jakarta

Sudijono, A. 1992. Pengantar Statistik Pendidikan, PT. Raja Grafindo persada. Jakarta.

Sugiyono. 2007. Statistik Untuk Penelitian, CV. ALFABETA. Bandung.

Sukardi. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan. Kompetensi dan Praktinya. Bumi Aksara. Jakarta.

Sumarna, C., 2006. Filsafat Ilmu, Dari Hakikat menuju Nilai. Pustaka Bani Quraisy. Bandung.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat, Kanisius. Yogyakarta.

Suriasumantri J. 1994. Ilmu Dalam Perspektif. Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu Yayasan OBOR Indonesia.

_____. 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Syariati, A., 1982. On the Sociology of Islam.Penerjemah Mahyudin. Ananda. Yogyakarta.

Sztompka, P. 1993. The Sociology of Social Change, Alimandan (penerjemah). Sosiologi Perubahan Sosial. 2004. Prenada Media. Jakarta.

Tafsir, A. 2003. Filsafat Umum. Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

_____. 2007. Filsafat Ilmu. Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

The Liang Gie, dkk. 1979. Pengantar Logika Modern. Karya Kencana. Yogyakarta.

Tim Dosen Filsafat. 2002. Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan. Fakultas Filsafat UGM. Liberty. Yogyakarta.

Turner, J.H. 1982. The Structure of Sociological Theory, The Dorsey Press. Homewood. Illinois.

Wibisono, K. 1983. Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte, Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta.

Wibisono, Y. 2005. Metode Statistik, Gadjah Mada University press. Yogyakarta.

Wrong, D. (Ed). 1970. Max Weber, Makers of Modern Social Science, Asnawi (penerjemah), Max Weber: Sebuah Khasanah. 2003. Ikon teralitera. Yogyakarta.

Zamroni. 1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta.

» Read More...

Recent Post

Search